Dr. William Gouge (1575–1653) adalah seorang pengajar di bidang logika, filsafat dan dan bahasa Ibrani di Universitas Cambridge dan seorang pelayan di St. Anne’s atau Gereja Blackfriars di London selama 45 tahun terakhir dari hidupnya yang berbuah. Dia merupakan seorang anggota yang paling aktif di Dewan Kerohanian Westminster, seorang Assessor(atau asisten) dari Prolocutor (atau pejabat yang berbicara mewakili kelompok dewan ) dan Pemimpin panitia yang menyusun draf Pengakuan Iman Westminster. Dia ditunjuk untuk bekerja pada Anotasi Westminster dari Alkitab, bagiannya mencakup kitab 1 Raja-Raja hingga Ester. Dikenal sebagai seorang Puritan yang penting, Gouge adalah seorang pemimpin dari Presbiterian London dan Prolucutor yang terpilih pada rapat pertama (3 Mei 1647). Tahun 1649, dia melayani sebagai Presiden dari Kolase Sion. Seorang penulis terkenal, beberapa karya Gouge yang dipublikasikan termasuk buku-buku mengenai Doa Bapa Kami (1626), Hari Tuhan (1641) dan providensi Tuhan (1645), dan juga Katekismus Singkat(1635) dan komentari yang limpah dari Surat Ibrani (1655).
Bersama istri terkasihnya, Elizabeth, Willaim Gouge adalah ayah dari 13 anak, 7 laki-laki dan gadis-gadis, 8 darinya yang mencapai usia dewasa. Di luar dari pengetahuannya yang dalam akan Kitab Suci dan pengalaman praktis, dia menulisOf Domestical Duties (1622), sebuah karya populer, yang beberapa kali diedit, yang dapat menyelaraskan pikiran Kristus dalam kehidupan keluarga.
Dalam bagian yang bertema “mengenai desersi”, sarjanawan Cambridge itu menjelaskan bahwa Kitab Suci dalam 1 Korintus 7:15 mengacu pada ketersendirian orang Kristen yang ditinggalkan oleh pendampingnya yang belum percaya karena iman orang kudus dalam Yesus Kristus:
Kejahatan yang berlawanan dengan kesatuan pernikahan adalah Desersi (yakni, ditinggalkan oleh pasangan), ketika seorang dari pasangan yang menikah melalui keengganan akan agama yang sejati, melalui percobaan yang menyeluruh, atau beberapa hal yang serupa, hal-hal ini jelas akan menyangkal semua kesatuan pernikahan, dan menarik dirinya dari seluruh masyarakat beserta yang lain, sama halnya dalam hidup di antara kaum yang tidak setia, penyembah berhala, sesat, atau pelaku kejahatan semacam itu yang lain. Karena itu, sebagaimana seorang Kristen yang setia dengan keamanan hidup, atau kesadaran yang baik, tidak dapat tinggal di antara mereka; dan meskipun segala sarana yang baik di mana hal itu dapat dipikirkan untuk menuntut kembali pihak yang ditinggalkan, namun tidak ada suatu pun akan berlaku, selain tetap teguh dalam pewartaan semua persekutuan pernikahan.
Pendeta London ini menambahkan bahwa Kitab Suci tidak mengartikan mengenai desersi (1Kor. 7:15) sebagai ”kasus-kasus lain dari hal-hal yang di atas”, bahkan mencontohkan beberapa:
Sebagaimana ketika seorang yang tidak setia, penyembah berhala, atau orang sesat akan meninggalkan seseorang dari agama yang sejati karena sebab-sebab yang ada selain membenci agama: atau ketika keduanya, manusia dan istrinya hidup sebagai kaum penyembah di antara kaum penyembah berhala, seorang dari mereka beralih keyakinan kepada iman yang sejati, meninggalkan tempatnya di antara kaum penyembah berhala, dan pergi kepada para guru dari iman yang sejati, tetapi benar-benar tidak dapat membawa pihak yang lain untuk beralih keyakinan: atau ketika seseorang yang beragama sejati akan meninggalkan pasangannya yang memiliki komitmen bersama, dan tanpa alasan akan hidup dengan pihak/pasangan lain sehingga meninggalkan pasangannya, dengan demikian pada akhirnya menyatakan dengan jelas kekerasan hati mereka; hingga masalah ini diperdengarkan dan dihakimi oleh Magistrat (hakim/pejabat rendah di Inggris waktu itu – terj.) …
Dr. Gouge mendetailkan mengenai apakah “terikat” pada 1 Korintus 7:15 mengacu pada (pencarian tiada akhir dari pembaruan hubungan pernikahan dengan orang yang melakukan desersi) dan tidak mengacu pada (pernikahan itu sendiri):
Desersi ini merupakan hal yang begitu penting dalam kasus pernikahan, sebagaimana hal tiu membebaskan pihak yang tidak bersalah dari pencarian apa pun yang lebih jauh akan yang alin. Berdasarkan perkataan Sang Rasul, ” Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat (1Kor. 7:15). Dengan ikatan tersebut, dia mengartikan penundukan matrimonial (dengan alasan, baik dari orang-orang yang menikah, yang memiliki kuasa dari tubuh mereka sendiri, melainkan juga seorang akan tubuh pasangannya itu). Kini ketika mereka tidak lagi di bawah ikatan ini, bukan diikat untuk kepentingan hal itu. Karenanya desersi itu pada bagian dari kegagalan tugas merupakan penyudahan pernikahan semacam itu, sedemikian juga ikatan pada pihak yang tidak bersalah.
Rohaniwan Westminster dan pakar anotasi menunjukkan bahwa desersi, bukanlah “memisahkan setiap ikatan pernikahan, [seolah-olah] kemerdekaan diberikan kepada pihak yang terabaikan untuk boleh menikahi orang lain”, karena hal itu tidaklah benar untuk mengatakan bahwa melalui desersi ”ikatan pernikahan boleh dipatahkan, dan kemerdekaan diberikan kepada pihak yang diterlantarkan untuk menikahi orang lain.”
Kemudian William Gouge menyatakan bahwa terdapat satu-satunya dasar untuk bercerai, yakni perzinahan, bukan desersi: “Berdasarkan Perzinahan, kita tidak menyangkal, tetapi hal itu hanya memberikan penyebab perceraian: di samping itu kita mengatakan (sebagaimana kita memiliki jaminan yang benar dari perkataan Kristus [Mat. 5:32; 19:9; Mark. 10:11-12; Luk. 16:18]) bahwa hal itu satu-satunya sebab untuk bercerai. Karena untuk dengan membuat suatu pemisahan karena kasus meninggalkan pasangannya itu tidak sesuai dengan iman katolik, khususnya bertentangan dengan pengajaran rasul Paulus dan Petrus (1Kor. 7:12-14; 1Pet. 3:1).”
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.