Prof. Herman Hanko
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Matt. 19:9).
Seorang pembaca bertanya, “bolehkah orang Kristen yang diceraikan menikah lagi dengan orang Kristen lainnya? Penanya bertanya mengenai orang-orang Kristen dan bukan orang-orang pada umumnya, meskipun apa yang benar bagi orang-orang Kristen dalam kaitan ini berlaku juga bagi semua orang. Jika orang-orang Kristen boleh menceraikan pendampingnya dan menikah lagi, boleh juga bagi orang-orang yang belum percaya. Begitu juga kebalikannya. Jika seorang yang belum percaya boleh menceraikan pendampingnya dan menikah kembali, seorang Kristen boleh juga melakukan hal yang sama. Apa yang berlaku bagi suatu hal, berlaku juga bagi seluruhnya.
Aturan Allah inilah dapat diterapkan secara seimbang bagi orang percaya dan orang yang belum percaya karena dalam mendiskusikan perceraian dan pernikahan lagi, Kitab Suci membahas suatu ketetapan ciptaan. Yesus membuat hal ini begitu jelas dalam Matius 19:4-6 dalam menjawab pertanyaan orang Farisi mengenai perceraian dan pernikahan lagi: ” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Pernikahan dilembagakan oleh Allah pada waktu penciptaan dan Dia membentangkan ketetapan-ketetapan yang berlaku pada seluruh ras manusia yang diciptakan dalam Adam.
Argumen mengenai perceraian dan pernikahan lagi (beberapa pihak menyetujui dan yang lainnya menolaknya) bergantung pada interpretasi ayat yang dikutip di atas, Matius 19:9. pertanyaan yang spesifik adalah: Apakah perubahan klausa “kecuali karena zinah” yang mendahului klausa itu (“Barangsiapa menceraikan istrinya”) atau klausa itu mengubah klausa sesudahnya (“lalu kawin dengan perempuan lain”).
Jika klausa “kecuali karena zinah” mengubah “lalu kawin dengan perempuan lain”, maka, jika dasar mula-mula dari perceraian adalah percabulan, hal itu dapat diizinkan untuk menikah lagi. Tetapi jika klausa tersebut “kecuali karena zinah” mengubah klausa yang sebelumnya, maka pernikahan lagi adalah salah, bahkan setelah perceraian.
Demi membentuk argumen yang seakurat mungkin: Jika seorangsuami dan istri diceraikan karena satu pihak atau pihak lain telah melakukan percabulan, maka pertanyaannya adalah: Bolehkah pihak yang tidak bersalah menikah lagi? (pada pembahasan sebelumnya, ada baiknya untuk memperhatikan bahwa tidak seorang pun menanyakan berkaitan dengan pihak yang bersalah: Bolehkah pihak yang bersalah menikah lagi?)
Pernikahan lagi pihak yang bersalah merupakan posisi yang dipegang oleh banyak orang dan dimasukkan oleh Dewan Westminster. Tetapi saya berkeyakinan bahwa hal ini posisi yang salah. Saya yakin bahwa pernikahan lagi merupakan hal yang dilarang (Mat. 5:32), jika perkataan Tuhan Yesus dengan jelas mengizinkan perceraian dengan dasar percabulan/zinah, entah itu oleh pihak yang bersalah maupun yang tidak bersalah.
Walaupun Matius 19:9 mungkin bersifat ambigu, perikop yang lain dalam Kitab Suci begitu jelas pada masalah ini bahwa Matius 19:9 harus diinterpretasikan dalam arti perikop yang lain itu. Saya tidak mengutip perikop-perikop itu di sini, tetepi saya akan menanyakan pembaca untuk mencari dan mempertimbangkan dalam pergumulan doa berdasarkan Matius 5:32, Markus 10:11-12, Lukas 16:18, Roma 7:1-3, Maleaki 2:16, dan I Korintus 7:10-11.
Ketika melembagakan pernikahan dan menikahkan Adam dan Hawa, Allah menggambarkan pernikahan sebagai dua orang yang menjadi “satu daging”. Hal itu tidaklah mustahil untuk memisahkan dua bagian dari satu daging tanpa membunuh seseorang melalui pembelahan/pemisahan. Suami dan istri adalah satu daging dan tidak dapat dipisahkan. Bukan hanya mereka tidak boleh dipisahkan; mereka tidak dapat berpisah.
Karena itu kita harus memperhatikan bahwa bercerai atas dasar percabualan bukan merupakan suatu kehancuran atau pelepasan dari pernikahan; dua orang yang bercerai tetap menjadi satu daging. Tetapi hal ini adalah suatu perpisahan dari kehidupan bersama karena ketidaksetiaan dari pasangannya, yang, melalui percabulan/perzinahan, menjadi ”satu daging” dengan orang lain (Ikor. 6:16). Karena pernikahan tetap, pernikahan lagi adalah perzinahan, dan bahkan berpoligami (seorang lelaki dengan banyak wanita) atau berpoliandri (seorang wanita dengan banyak lelaki), yang dikutuk oleh Allah (Mat. 5:32).
Jika seorang pasangan dalam pernikahan bercerai dan menikah lagi, cara berdamai melalui pertobatan telah tertutup. Tetapi, dalam hubungan antara sesama Kristen, seseorang [pihak yang tidak bersalah] harus selalu membuka pintu untuk bertobat dan berdamai dalam segala kepahitan yang mendalam dan atas segala hal dalam pernikahan.
Pernikahan antara sesama orang Kristen merupakan gambaran relasi antara Kristus dengan gereja-Nya menurut Efesus 5:22-33. Relasi ini antara Kristus dan gereja-Nya begitu intimnya hingga Kristus dan umat-Nya menjadi satu daging. Mereka tidak dapat terlepaskan. Pernikahan tersebut bersifat kekal dan selama-lamanya.
Benarlah, kita, yang begitu sering tidak setia, melakukan dosa yang memilukan dari percabulan rohani yang akan menyudahi ikatan pernikahan antara Kristus dan umat-Nya – jika hal itu [menurut kita] mampu disudahi. Rasul Yakobus menyebut orang-orang yang dia tulis dalam suratnya ”orang-orang yang tidak setia” [pencabul pria dan wanita – KJV] (4:4). Tetapi, bersyukur kepada Allah, Kristus tidak pernah menceraikan umat-Nya. Dia menjagai ikatan pernikahan dan tidak akan pernah membiarkan ikatan itu tersudahi, tidak, bahkan bukan oleh segala dosa-dosa kita.
Yehezkiel 16 melukiskan gambaran grafis yang bagus sekali. Setelah menggambarkan pencabul Yehuda [bangsa Israel Selatan], Allah berfirman, ”Tetapi Aku akan mengingat perjanjian [kovenan]-Ku dengan engkau pada masa mudamu dan Aku akan meneguhkan bagimu perjanjian [kovenan] yang kekal.”
Pernikahan antara sesama Kristen adalah perwakilan hubungan sorgawi antara Allah dan umat-Nya dalam Kristus. Bersyukur kepada Allah yang tidak pernah akan menceraikan kita, karena ikatan kovenan [perjanjian yang lebih kuat dari bentuk perjanjian apa pun pada zaman kuno – terj.] yang Dia dirikan adalah ikatan yang tidak berkesudahan dan Dia adalah setia. Maka marilah kita juga bersetia dalam pernikahan kita. Jika tragedi bercerai meregut kita karena ketidaksetiaan pendampig kita, marilah kita bertahan, sejauh yang kita mampu, mempertahankan pernikahan seerat-eratnya, karena kita tidak boleh menikah lagi.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.