Martyn McGeown
Sayangnya, kita tidak setuju dengan Pengakuan Iman Westminster mengenai pengajaran pernikahan dan perceraiannya. Meskipun kita sangat memandang tinggi Pedoman Westminster, kita tidak dapat setuju dengan ajaran rohani Westminster mengenai masalah pokok ini, karena kita menimbang – dari Kitab Suci – bahwa hal-hal itu memiliki kesalahan yang mendukakan. Pengakuan itu mengajarakan:
Dalam kasus perzinahan setelah pernikahan, hal itu sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk menuntut perceraian dan, kemudian bercerai, untuk menikahi seorang yang lain, seolah-olah pihak yang bersalah itu telah mati.
Walaupun kesalahan manusia sedemikian seakan menyelidiki argumen-argumen yang berlebihan untuk memutuskan mereka yang telah disatukan oleh Allah dalam pernikahan: hal itu tidak lain adalah percabulan, atau semacam kecenderungan untuk ditinggalkan yang tidak dapat dipulihkan oleh Gereja, atau magistrat/hakim sipil, yang disebabkan kemampuan menyudahi ikatan pernikahan: mengenai masalah yang berlangsung secara tertib dan terbuka untuk umum, dilaksanakan; orang-orang yang terkait dengan hal ini tidak menuruti kehendak mereka sendiri dan menahan diri dalam kasus mereka sendiri (24:5-6).
Akan tetapi, Kitab Suci mengajarkan bahwa pernikahan lagi ketika pasangan yang mulanya masih hidup merupakan perbuatan perzinahan, sebab keduanya menikah menjadi satu dan dialah pasangannya:
Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah. (Mark. 10:11-12).
Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah (Luk. 16:18).
Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain (Rm. 7:3).
Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya (1Kor. 7:39).
Pesan Alkitab begitu jelas: satu-satunya dasar perceraian adalah percabulan, dan satu-satunya pilihan bagi diceraikan adalah tetap tidak menikah atau didamaikan dengan pasangan mereka yang mula-mula: Kepada orang-orang yang telah kawin aku – tidak, bukan aku, tetapi Tuhan – perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. (1Kor. 7:10-11). Bercerai (apa pun sebabnya) tidak akan mematahkan ikatan pernikahan. Seorang pasangan mungkin diceraikan berdasarkan hukum tanah, dan mereka mungkin – karena hukum perceraian legal – tidak lagi tinggal bersama, tetapi Allah membuat mereka satu tubuh ketika Dia menyatukan mereka pada hari pernikahan mereka, dan Dia semata yang memiliki kuasa untuk menyudahi kesatuan satu tubuh itu pada kematian, dan satu-satunya pada kematian. Kitab Suci menegaskan pokok ini: Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu (Rm. 7:2) dan Isteri terikat selama suaminya hidup. (1Kor. 7:39). Karena itu, Yesus menuntut bahwa ikatan pernikahan dipegang teguhn dan dipertahankan: Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19:6).
Pengakuan Iman Westminster tidak mengajarkan bahwa ikatan pernikahan dapat dipatahkan, kecuali melalui kematian. Hal itu Pengakuan itu mengizinkan pernikahan lagi bagi pihak yang tidak bersalah dalam suatu perceraian karena dalam pandangan dari Pengakuan Iman, pihak yang bersalah dianggap telah mati: ”Dalam kasus perzinahan setelah pernikahan, hal itu sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk menuntut perceraian dan, setelah perceraian, untuk menikahi pasangan yang lain, seolah-olah pihak yang bersalah telah mati” (Pengakuan Iman Westminster 24:5; huruf miring adalah penegasan saya). Bagaimanapun Alkitab mengizinkan pernikahan lagi, jika pasangan seseorang benar-benar mati: ”jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Rm. 7:3) dan ” Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya (1Kor. 7:39), bukan jika pasangan seseorang sekadar mati secara dugaan atau kemungkinan.
Di dalam memperbolehkan pernikahan lagi dari “pihak yang tidak bersalah” peraturan Westminster menerapkan “klausa-klausa pengecualian” dalam Injil Matius:
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah (Mat. 5:32).
Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (Mat. 19:9).
Pengecualian dari Matius 5:32 dan 19:9 mengacu pada perceraian, bukan pernikahan lagi. Perhatikan posisi klausa. Kristus tidak mengatakan, ”Barangsiapa menceraikan isterinya dan menikahi orang lain, kecuali karena zinah, ia berbuat zinah.” Malahan, Dia mengatakan, ” Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”. Posisi dari klausa tersebut membuktikan bahwa Kristus membuat pengecualian dalam kasus perceraian, bukan menikah lagi.
Peraturan-peraturan Westminster bersalah lebih lagi ketika hal-hal itu mengizinkan perceraian dan menikah lagi dalam kasus desersi (ditinggalkan). Pertama-tama, definisi mereka akan desersi benar-benar kabur: ”semacam kecenderungan untuk ditinggalkan yang tidak dapat dipulihkan oleh Gereja, atau magistrat/hakim sipil” bukanlah apa yang Paulus katakan di dalam 1 Korintus 7:15, teks itu berlaku sebagai bukti akan pandangan mereka bahwa desersi mematahkan ikatan pernikahan, mengizinkan pernikahan lagi bagi pasangan yang ditinggalkan.
Dalam 1 Korintus 7:12-16, Paulus membahas subjek yang belum terjadi di dalam pelayanan publik Kristus: pernikahan campuran. Jika orang yang tidak percaya puas untuk hidup dengan orang yang percaya, orang yang percaya mungkin tidak pergi atau meninggalkan pasangan yang belum percaya. Paulus melarang hal itu. Desersi semacam itu adalah berdosa, dan bukan merupakan dasar-dasar bagi pernikahan lagi (bahkan di bawah ayat 15 yang disalahartikan). Bagaimana juga, Pengakuan Iman Westminster mengizinkan pernikahan lagi pada segala macam kasus desersi tersebut. Dan mereka yang ”seakan-akan mempelajari argumen-argumen” (Pengakuan Iman Westminster 24:6) dapat – dan tentu – memberlakukan kekaburan dari paragraf ini dengan alasan untuk bercerai dan menikah lagi.
Kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.(1Kor. 7:12-13).
Jenis desersi yang Paulus katakan adalah desersi di mana orang yang belum percaya meninggalkan dikarenakan oleh kesalehan dari pasangan Kristennya. Dalam kasus ini, orang yang percaya dapat memiliki niatan yang baik. Pasangannya pergi dikarenakan oleh perilaku yang saleh dari orang Kristen. Tidak ada perasaan salah, atau kebutuhan untuk takut dihukum gereja atau ditegur oleh orang kudus: ”dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera” (1Kor. 7:15). “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai”.
Tidak ada klausa apa pun yang mengartikan bahwa ikatan pernikahan telah rusak dengan parah, dikarenakan pasangan yang belum percaya telah berdosa meninggalkannya. Orang yang percaya dapat memiliki niatan yang baik itu, tetapi ikatan pernikahan itu tetap terjaga.Bab yang sama membuktikan (1Kor. 7:39).Orang yang percaya mungkin tidak menikah lagi karena dia masih menikah (“satu tubuh”) di mata Allah. Jika orang yang percaya menikah lagi setelah itu, meskipun ada pengesahan negara atau gereja, dia tetap melakukan perzinahan, jika pasangan yang mula-mula masih hidup. Maka dia dapat lagi memiliki niatan yang baik, tidak ada lagi hidup dalam kedamaian, dan harus bertobat, dan menyudahi hubungan yang bersifat zinah/cabul itu.
1 Korintus 7:15 tidak mengatakan “dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat” tetapi ”dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak di bawah beban”. Frasa ”tidak terikat [not bound]” dan ”tidak di bawah beban/kekangan [not under boudage]” adalah berbeda. Hal ini jelas di dalam terjemahan AV [Authorized Version – KJV versi bahasa Inggris], tetapi dalam versi modern (contohnya, NIV, termasuk juga versi LAI bahasa Indonesia), teks ini diterjemahkan ”tidak terikat”. Hal itu merupakan terjemahan yang keliru dan tidak termaafkan, digemari oleh pandangan antinomian akan perceraian dan pernikahan lagi! Seorang Kristen ditinggalkan oleh pendamping yang belum percaya bukanlah di bawah beban, tetapi tentunya masih terikat. Pernikahan adalah ikatan (bond), sebuah kesatuan satu-tubuh dan selamanya, tetapi hal itu tidak pernah digambarkan dalam Kitab Suci sebagai ”di bawah beban/dikekang!” Tentunya hal ini tidak dapat diterima untuk mengatakan bahwa 1 Korintus 7:15 berarti bahwa saudara atau saudari tidak diikat – tidak menikah – sedemikian. Westminster bersalah, dan kesalahan itu telah menghasilkan buah yang pahit.
Ketika orang Farisi datang kepada Yesus, mereka bertanya, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat. 19:3). Yesus menjawabnya dengan mengacu pada ketetapan asali di dalam kitab Kejadian:
Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:4-6).
Ketika orang Farisi keberatan dengan beralasan pada Ulangan 24, Yesus menjelaskan bahwa Musa telah mengaturkannya karena kedengkilan hati orang Israel: Musa telah ”tertekan [mengizinkan dalam LAI]” (Mat. 19:8) pada situasi zamannya di mana orang-orang mencoba menceraikan istri-istri mereka dan menikah lagi. Kedengkilan hati orang Israel ini tidak dapat tunduk pada hukum TUHAN (Rm. 8:7), yang ”benci kepada perceraian” (Mal, 2:16), dan telah menyaksikan masalah-masalah ketidaksetiaan dengan istri-istri mereka pada masa mudanya” (Mal. 2:14). Namun Yesus tidak akan tertekan pada situasi kerajaan-Nya. Kekerashatian gereja pada masa ini mungkin menginginkan rujukan Ulangan 24, tetapi jawaban Kristus yang tidak berkompromi:
Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (Mat. 19:8-9).
Lebih lanjut, pernikahan manusia dilembangakan untuk merefleksikan pernikahan sorgawi dari Kristus dan gereja-Nya (Ef. 5:23-32). Yeremia pasal 3 adalah bersifat instruktif di sini. Ayat 1 (“Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar?”) disinggung pada Ulangan 24:4 (perikop yang sama dari kedengkilan hati orang Farisi yang berlaku pada Mat. 19). Israel, istri yang berlaku tidak setia (Yer. 3:20) telah melakukan perzinahan secara berulang kali (”telah berzinah dengan banyak kekasih, Yer. 3:1) dan walaupun Dia telah “memberikan dia suart nikah itu” (Yer. 3:8), tetapi panggilan Allah adalah untuk “membawa kembali kepada [Dia]” (Yer. 3:1). Sekalipun perzinahan orang Israel dan surat cerai dari Yehova, Allah memelihara ikatan pernikahan dan tidak menikahi kekasih lainnya: ’Aku menikahi engkau’ (Yer. 3:14). Dia mengatakan, bahkan setelah melayani Israel dengan surat cerai dan mengasingkan perempuan itu oleh sebab perzinahan rohaninya! Anugerah yang mengagumkan! Perzinahan rohani dari mempelai Kristus tidak dapat menyudahi pernikahan sorgawi, karena Kristus tetap setiawan. Dia merawat pendamping-Nya, dan menyembuhkan murtadnya (Yer. 3:22). Karena alasan ini, perzinahan dari pendamping-Nya tidak dapat memutuskan kesatuan tubuh dari pernikahan, dan sekalipun perzinahan merupakan pelanggaran yang mendukakan semacam demikian: suatu dosa yang melawan misteri Kristus dan Gereja-Nya.
Apa yang merupakan reaksi pada doktrin pernikahan yang tidak berkompromi ini? Murid-murid terpana: ”Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Mat. 19:10).
Akankah murid-murid telah terkejut jika Yesus mengajarkan hal yang sama seperti peraturan-peraturan Westminster? Apakah setiap orang terpana jika mereka diberitakan, “Baiklah, engkau dapat menikah, dan jika pernikahan itu hancur, engkau dapat menceraikan pendampingmu yang tidak setia, lalu menikahlah dengan seorang yang lain?” Kebanyakan orang berpikir bahwa hal ini ”wajar”, banyak orang dapat hidup dengan hal itu dan melihat kemasuk-akalan hal itu. Daging dapat menahan doktrin semacam itu. Akankah Yesus menjawab, sebagaimana Dia katakan di Matius 19:11, ” Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu” Adakah Dia mengizinkan pihak yang tidak bersalah untuk menikah lagi?Tidak, hanya mereka yang dikaruniai saja. Mungkinkah Dia mengizinkan pihak yang tidak bersalah untuk menikah lagi? Tidak, satu-satunya doktrin Yesus akan ikatan pernikahan yang tidak terpatahkan tercetus dari tanggapan murid-murid-Nya, ”Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Mat. 19:10).Terdapat suatu yang benar-benar salah dengan doktrin pernikahan yang diajarkan oleh gereja saat ini. Tanggapan dari murid ini tidaklah didengarkan!
Kita tidak setuju dengan Pengakuan Iman Westminster pada masalah ini, karena hal itu berkontradiksi dengan Kitab Suci. Pengakuan tersebut berisi banyak pernyataan yang baik sekali, dan banyak juga yang kita terima dengan sepenuh hati. Jika semua orang yang menuntut menjadi kaum Presbiterian benar-benar memegang doktrin yang ada pada Pengakuan itu, gereja-gereja harusnya memiliki peryataan yang lebih baik lagi. Kita berpihak dengan Kitab Suci, dan bersama milik Kristus, bukan doktrin pernikahan dari Westminster.
Pengakuan Iman Westminster itu sendiri memberi kesempatan hal itu untuk diuji ajarannya dalam terang Kitab Suci:
Hakim tertinggi yang oleh semua kontroversi agama ditentukan, dan semua tahapan dewan, opini-opini dari penulis kuno, doktrin manusia, dan roh-roh privat, diuji, dan pernyataan hal-hal itu yang kita gumuli, tidak dapat dilakukan oleh yang lain kecuali Roh Kudus yang berbicaran dalam Kitab Suci (1:10).
Inilah yang kita kerjakan, dan kami berkesimpulan bahwa perzinahan dan desersi tidak dapat mematahkan ikatan pernikahan untuk mengizinkan pernikahan lagi.Manusia tidak mungkin dan tidak dapat mematahkan apa yang Allah telah satukan bersama.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.