Menu Close

Teguran Keras Allah terhadap Kain

Prof. Herman Hanko

“Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej. 4:7).

“Apakah dosa dipersonifikasikan di dalam ayat ini? Apakah Kain memiliki kemampuan untuk mengalah dosa?” – ini adalah pertanyaan-pertanyaan dari seorang pembaca, berkaitan dengan ayat di atas.

Di dalam tiga edisi News yang sebelumnya, saya telah membahas dengan cukup panjang lebar pertanyaan tentang hubungan antara prapengetahuan Allah atas segala sesuatu dan dosa manusia yang menjadi tanggung jawab manusia. Mungkin akan bermanfaat bagi para pembaca dan juga penanya untuk membaca kembali edisi-edisi tersebut, karena pertanyaan yang diajukan di atas, khususnya pertanyaan terakhir, adalah bagian dari pertanyaan yang sama yang dibahas baru-baru ini di dalam News.

Mengenai pertanyaan pertama, apakah dosa dipersonifikasikan di dalam Kejadian 4:7, jawaban bagi pertanyaan itu adalah Ya, dosa memang dipersonifikasikan di sini.

Personifikasi sering digunakan di dalam Kitab Suci. Ini adalah sebuah gaya bahasa di mana aktivitas-aktivitas manusia diperhitungkan kepada ciptaan-ciptaan yang tidak hidup. Gaya bahasa (majas) yang kuat ini digunakan untuk memberikan efek yang besar di dalam Firman Allah. Berikut adalah beberapa personifikasi yang tidak asing bagi kita.

“Ucapan ilahi tentang Tirus. Merataplah, hai kapal-kapal Tarsis, sebab Tirus sudah rusak, tiada lagi rumahmu atau pangkalanmu! Ketika mereka masih di negeri orang Kitim telah dinyatakan hal itu kepada mereka” (Yes. 23:1). Kapal-kapal ini diperintahkan untuk “meratap” atau menangis, di dalam sebuah personifikasi, karena Tirus yang merupakan kota perdagangan yang besar, ke mana kapal-kapal ini sering berlayar, akan dihancurkan.

“Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Mat. 23:37). Yerusalem hanyalah sebuah kita tetapi di sini digambarkan sebagai terlibat di dalam pembunuhan atas para nabi dan menolak keselamatan bagi anak-anaknya, karena para perwakilan religius di Yerusalem (ay. 13) mencoba (tetapi gagal) untuk menghentikan Kristus dari mengumpulkan anak-anak pilihan di Yerusalem (Yoh. 6:39-40; 10:27-29), seperti dijelaskan oleh Augustine, Peter Martyr Vermigli, John Calvin, John Knox, Francis Turretin, dan banyak theolog ternama lainnya (www.cprc.co.uk/quotes/matthew2337/). Akan tetapi, Yerusalem adalah ibukota Israel sejak masa Daud dan sekarang akan dihancurkan karena dosa-dosanya – yang berarti bahwa bangsa Israel tidak akan lagi eksis sebagai bangsa yang theokratis (Mat. 23:38; 21:42-43).

“Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1Kor. 15:55). Maut dipersonifikasikan sebagai musuh dan pembinasa terakhir manusia, tetapi orang-orang percaya mengolok-olok kuasa kubur di dalam pengharapan akan kebangkitan kembali melalui kuasa kebangkitan kembali Kristus.

“Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:22). Ciptaan juga akan diselamatkan melalui karya penebusan Kristus, dan di sini digambarkan sedang merindukan hari kebangkitan bersama.

Yesaya 44:23 adalah nasihat yang muncul dari penebusan umat Allah dan dihapuskannya dosa-dosa kita: “Bersorak-sorailah, hai langit, sebab TUHAN telah bertindak, bertempiksoraklah, hai rahim bumi! Bergembiralah dengan sorak-sorai, hai gunung-gunung, hai hutan serta segala pohon di dalamnya! Sebab TUHAN telah menebus Yakub, dan Ia telah memperlihatkan keagungan-Nya dalam hal Israel.” Personifikasi lain terlihat di dalam ayat-ayat mengenai kedatangan kembali Tuhan di akhir zaman untuk menghakimi ini: “Biarlah beria-ria padang dan segala yang di atasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai” (Mzm. 96:12) dan “Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan, dan gunung-gunung bersorak-sorai bersama-sama” (Mzm. 98:8).

Di dalam Kejadian 4:7, dosa digambarkan sebagai suatu kuasa yang dapat menghancurkan orang berdosa. Ketika seseorang mengambil jalan dosa melawan Allah, setiap dosa yang ia lakukan membuat dosa-dosa lain yang lebih berat lebih berkemungkinan untuk terjadi. Tindakan perzinahan yang pertama mungkin hanya menyisakan hati nurani yang merasa bersalah, tetapi tindakan itu membuka pintu bagi perzinahan yang berikutnya dan yang berikutnya lagi – setiap kali semakin mudah dan semakin diinginkan, sampai semuanya membawa kepada penyimpangan seksual seperti yang kita lihat terjadi di sekeliling kita.

Ngomong-ngomong, klausa terakhir dari Kejadian 4:7 lebih baik diterjemahkan sebagai sebuah perintah, sehingga Kain diperintahkan oleh Allah: “Tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”

Pertanyaan kedua berkaitan dengan pernyataan: “Jika engkau berbuat baik, tidak akankah kamu diterima?” (KJV). Si penanya menanyakan apakah pernyataan “Jika engkau berbuat baik,” menyiratkan kemampuan rohani Kain untuk melakukan yang baik dan kepemilikan kehendak bebas.

Pertama-tama, si penanya harus mengajukan kepada dirinya sendiri pertanyaan ini: Sebagaimana tercantum di dalam ayat tersebut, bukankah ini adalah pernyataan yang benar? Adakah orang yang berada di muka bumi milik Allah ini yang bisa menyangkali bahwa dengan berbuat baik orang diterima oleh Tuhan? Pernyataan itu jelas sangat benar sehingga mustahil untuk memahami bagaimana ada orang yang bisa menyangkalinya.

Oleh karena itu, menyiratkan bahwa pernyataan itu berarti bahwa seorang berdosa yang rusak secara total mampu untuk melakukan apa yang menyenangkan di dalam pandangan Yehovah merupakan deduksi yang sepenuhnya tidak berdasar. Kesalahannya terletak di dalam premis yang kaum Arminian terima sebagai kebenaran tetapi yang dalam kenyataannya adalah salah. Kesalahannya adalah ini: Allah tidak akan menuntut dari seseorang apa yang orang itu tidak mampu lakukan.

Tuntutan untuk melakukan yang baik tersirat di dalam ayat tersebut. Tuntutan itu memang harus demikian. Yehovah tidak membatalkan tuntutan hukum-Nya karena alasan bahwa orang berdosa tidak memiliki kemampuan untuk berbuat baik. Allah adalah kudus, adil, dan benar. Kesempurnaan moral-Nya secara tidak terelakkan membuat Dia harus terus menuntut kebenaran dari orang berdosa. Allah menciptakan manusia di dalam kebenaran yang sejati. Manusia dengan sengaja menyia-nyiakan semua karunia ini. Ia tidak bisa lagi melakukan apa yang benar. Apakah Allah sekarang berkata, “Oh, Aku menyesal bahwa kamu telah melakukan hal yang buruk ini. Aku tidak akan lagi memintamu melakukan apa yang saya tuntut dulu darimu.” Tidak! Itu akan merupakan ketidakadilan.

Jika seseorang berutang kepadamu £10.000 dan mendapatkan keuntungan £100.000 di dalam sebuah proyek yang ia selesaikan, tetapi menghambur-hamburkan uang itu dengan perjalanan keliling dunia, keadilan menuntut bahwa ia tetap harus membayar kepada Anda. Alasannya bahwa ia tidak mempunyai uang tidak membebaskan dia dari kewajibannya untuk melunasi utangnya. Anda berhak untuk mengadukan dia ke pengadilan dan mendapatkan perintah dari pengadilan untuk memaksanya melunasi utangnya tersebut. Alasannya bahwa ia tidak mampu melunasi tidak ada artinya. Ia dulu pernah berkemampuan untuk melunasinya. Ia, dengan kebodohannya, menjadi dirinya tidak mampu melunasinya. Ia sendirilah yang bersalah. Ia tetap harus melunasi apa yang menjadi utangnya.

Sikap Yehovah tidak kurang daripada itu. Perintah Allah kepada orang berdosa yang rusak secara total harus dicamkan oleh orang itu. Orang berdosa tidak bisa lolos di hari penghakiman terakhir dengan alasan bahwa tidak tidak mampu seakan-akan itu adalah dalih yang dapat diterima.

Betapa harus bersyukurnya kita yang dengan iman berlindung kepada Kristus, yang telah melunasi utang itu bagi kita dan dengan demikian menjadikan kita, hanya oleh anugerah saja, dapat diterima oleh Allah!

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.

Show Buttons
Hide Buttons