Menu Close

Gereja Mula-Mula dan Dogma-Dogma Fondasionalnya / The Early Church and Its Foundational Dogmas

Rev. Angus Stewart

(Sedikit dimodifikasi dari artikel yang pertama kali diterbitkan dalam British Reformed Journal)

Dalam artikel sebelumnya, saya telah menulis tentang pentingnya doktrin kovenan dan ide tentang perkembangan doktrin. Saya juga telah memaparkan tiga alur dukungan bagi posisi bahwa kovenan adalah ikatan persahabatan antara Allah Tritunggal dan kaum pilihan-Nya dalam Yesus Kristus. Pertama, rumusan kovenan, “Mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka,” menyatakan kovenan dalam aspek hubungan pribadi. Kedua, Kejadian 3:15—janji kovenan yang pertama—menyatakan keselamatan sebagai permusuhan terhadap Iblis dan, dengan demikian, persahabatan dengan Allah Tritunggal. Ketiga, simbol-simbol dan kiasan-kiasan bumiah dari kovenan mencakup pernikahan, hubungan bapa-anak, dan tabernakel/bait Allah. Secara bersama-sama, dua simbol yang pertama (pernikahan dan hubungan bapa-anak) menggambarkan kovenan sebagai ikatan kasih yang kuat dan intim. Kiasan ketiga (tabernakel/bait Allah) menyatakan berdiamnya Allah bersama umat-Nya. Hal ini direalisasikan dalam Inkarnasi ketika Allah “berdiam” (harfiah, “bertabernakel”) bersama manusia (Yoh. 1:14).

Gereja-gereja Presbiterian dan Reformed secara tepat mengakui kovenan sebagai hal yang sentral bagi pewahyuan biblikal dan dengan demikian juga bagi theologi. Allah adalah Allah kovenan yang dalam diri-Nya sendiri menikmati persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus (theologi). Manusia (yang dipilih) adalah makhluk kovenan yang dengannya Allah dengan penuh anugerah masuk ke dalam persekutuan (antropologi). Yesus adalah Kristus kovenan yang memerantarai kehadiran Allah sebagai Imanuel (“Allah beserta kita”; Kristologi). Roh Kudus menerapkan pada kita berkat-berkat kovenan yang dibeli untuk kita oleh Kristus sehingga memampukan kita bersekutu dengan Allah Tritunggal (soteriologi). Gereja adalah komunitas kovenan yang terdiri dari orang-orang yang adalah sahabat Allah (eklesiologi). Yang terakhir, masa depan adalah masa depan dari umat Allah, karena perkembangan dan kulminasi sejarah dunia berfungsi membawa kepada penggenapan kovenan Allah ketika tabernakel Allah akan ada bersama dengan manusia (eskatologi).

Akan tetapi, gereja mula-mula, tidak seperti theologi Reformed, tidak menjadikan kovenan sebagai hal yang sentral.1 Dalam kenyataannya, gereja mula-mula tidak banyak berbicara tentang doktrin kovenan. Pertama, tidak seorang pun dari para bapa gereja yang menulis buku mengenai kovenan—itu baru terjadi ketika Heinrich Bullinger menerbitkan bukunya Of the One and Eternal Covenant of God (1534). Kedua, kovenan tidak dibahas sebagai salah satu unsur dalam eksposisi-eksposisi iman yang lebih sistematik, seperti On the First Principles, karya terkenal dari Origen (kl. 185–kl. 254). Ketiga, kovenan jarang dikembangkan dalam karya-karya lain dari para bapa gereja. Maka kita mendapati bahwa karya-karya standar mengenai theologi dari gereja mula-mula tidak memiliki lema “kovenan” dalam indeksnya.2

Pengabaian karena kondisi masa itu terhadap doktrin kovenan dalam tulisan para bapa gereja sebagian dikarenakan tidak disebutkannya doktrin ini dalam Pengakuan Iman Rasuli. Itulah sebabnya Rufinus (kl. 350–kl. 410) bisa menulis tafsirannya akan Pengakuan Iman Rasuli dan Cyril dari Yerusalem (kl. 310–386) bisa menjabarkan Pengakuan Iman Rasuli dalam Catechetical Lectures karyanya untuk calon penerima baptisan tanpa berbicara tentang kovenan. Serupa dengan itu, kovenan tidak disebutkan dalam Kredo Nicene-Constantinopolitan (325, 381) atau Kredo Chalcedon (451). Alasan bagi hal ini jelas: kredo-kredo ini adalah pernyataan-pernyataan mengenai subjek-subjek yang menjadi kontrovesi (Trinitas dan Pribadi dan natur-natur Kristus) yang mengenainya dilakukan kajian yang panjang lebar dan mendalam. Pada masa itu kovenan tidak menjadi isu dalam gereja dan dengan begitu tidak membutuhkan pembahasan dalam kredo-kredo tersebut.

Tetapi mengapakah dalam tujuan Allah perihal Trinitas dan Pribadi dan natur-natur Kristus harus menjadi subjek-subjek pertama yang mengenainya terjadi kontroversi yang sengit dalam gereja-gereja sehingga membutuhkan pernyataan dalam kredo? Jawabannya terletak dalam natur fondasional yang dimiliki oleh doktrin-doktrin ini. Iblis mengetahui bahwa doktrin-doktrin ini mendasar bagi kebenaran seluruh wahyu Allah sehingga menyerangnya terlebih dulu. Iblis sadar bahwa jika doktrin-doktrin ini menyimpang dalam gereja, maka tidak akan ada keselamatan.3 Kekristenan hanya akan menjadi agama moralisme yang Unitarian.

Namun, tujuan Allah dalam mengedepankan doktrin-doktrin ini terlebih dulu sangatlah penting. Allah menghendaki agar Dialah yang menjadi subjek pertama yang dibahas secara tuntas dalam sejarah doktrin. Selain itu, secara logis Allah adalah yang pertama dalam bidang theologi karena Ia adalah semua dalam semua, dan Ia adalah yang ada sebelum segala sesuatu ada, dan Ia adalah sumber segala sesuatu. Setelah menegaskan bahwa keselamatan adalah dari Allah Tritunggal, kemudian gereja harus menjabarkan doktrin tentang Pribadi Kristus. Dengan cara ini, keselamatan harus dilihat bukan sebagai berasal dari Allah saja, tetapi juga melalui Kristus saja.

Keselamatan jelas menjadi kunci di sini. Keselamatan adalah isu bagi Athanasius (kl. 296–373) ketika ia melawan kaum Arian, yang menyangkal Deitas Kristus. dan keselamatan adalah isu bagi kaum ortodoks dalam peperangan mereka melawan kaum Doketis, Apollinarian, Nestorian, dan Eutychian, yang memegang pandangan-pandangan yang sesat tentang Pribadi dan natur-natur Kristus.4 Maka Kredo Nicene-Constantinopolitan berbicara tentang Trinitas dan Pribadi dan karya Kristus sebagai “bagi kita umat manusia dan bagi keselamatan kita” dan Kredo Chalcedon berbicara tentang Kristus sebagai Pribadi ilahi yang esa dalam dua natur “bagi kita dan bagi keselamatan kita.”

Jika Bapa dan Anak dan Roh Kudus bukan Allah, maka keselamatan kita bergantung pada Allah dan dua ciptaan, dan dengan demikian kita tidak mungkin bisa diselamatkan. Athanasius juga memberikan argumen dalam karyanya On the Incarnation of the Word bahwa hanya Ia yang benar-benar Allah yang dapat menyatakan Bapa kepada kita. Selain itu, jika Kristus tidak memiliki natur manusiawi yang sejati (berlawanan dengan kaum Doketis), yang seutuhnya (berlawanan dengan kaum Apollinarian), dan berdistingsi dari natur ilahi-Nya (berlawanan dengan kaum Euthychian), Ia tidak bisa menyelamatkan manusia yang seutuhnya melalui pendamaian substitusioner yang Ia kerjakan. Juga natur manusiawi Kristus harus menyatu secara tidak terpisahkan dengan natur ilahi-Nya agar keselamatan dari-Nya bisa efektif.

Tetapi bagaimanakah hal ini berkaitan dengan kovenan? Doktrin tentang Trinitas dan doktrin tentang Pribadi Kristus adalah fondasional bagi semua theologi Kristen dan dengan demikian juga bagi doktrin tentang kovenan. Ini bisa dibuktikan dengan mudah. Semua atribut Allah yang mulia—yang tentangnya banyak tulisan dihasilkan oleh para bapa gereja—adalah niscaya bagi kita untuk memiliki hubungan yang mendalam dan limpah dengan-Nya.5 Tetapi demikian juga fakta bahwa Ia adalah Allah Tritunggal, Allah yang berpribadi dan memiliki hidup dalam diri-Nya sendiri dan yang adalah hidup. Hanya jika Allah adalah Allah yang berpribadi, berkomunikasi, dan memiliki hidup dalam diri-Nya sendiri sebagai Bapa, Firman, dan Roh barulah Ia bisa memiliki persekutuan dengan kita dan membawa kita ke dalam kehidupan kovenan milik-Nya sendiri.6 Sungguh, hanya Allah yang berpribadi yang bisa menciptakan pribadi-pribadi lain! Sama dengan ini, hanya pengantara yang benar-benar Allah yang bisa memberi kita pengenalan akan Allah (bdk. Mat. 11:27), sebuah perihal yang niscaya bagi persahabatan kovenan. Selain itu, hanya ia yang benar-benar manusia yang bisa mengenal pergumulan-pergumulan kita dan bersimpati kepada kita, suatu perihal yang esensial bagi persahabatan yang sejati. Maka doktrin-doktrin dari gereja mula-mula tentang Trinitas dan Pribadi Kristus adalah mendasar bagi doktrin tentang kovenan.

Mungkin sebuah analogi akan menolong. 1 Petrus 1:23 berbicara tentang regenerasi sebagai penanaman “benih” ilahi. Dalam regenerasi kita, kita diberi natur baru yang sepenuhnya benar dan kudus. Kita sudah memiliki segenap pengudusan kita dalam bentuk benih ini. Karya Allah yang berkelanjutan akan membawa kepada berkembangnya hidup yang baru ini seiring waktu. Serupa dengan ini, semua doktrin tentang iman Kristen saling terkait secara organik. Maka doktrin-doktrin ini saling terimplikasi dalam setiap doktrin, walaupun dengan cara-cara yang beragam, dengan doktrin-doktrin tertentu yang mungkin terimplikasi secara lebih langsung daripada yang lainnya. Dengan demikian, tanaman dewasa dari doktrin yang sejati, yang tumbuh dari benih ini, dilihat sudah terkandung dalam benih tersebut sejak awal. Ini bukan hanya berfungsi untuk menunjukkan vitalitas yang dimiliki oleh doktrin-doktrin tradisional gereja, tetapi juga sebagai suatu bentuk verifikasi bagi kebenaran perkembangan doktrinal yang lama maupun yang baru.

Maka, jelaslah bahwa kontribusi terpenting gereja mula-mula bagi doktrin tentang kovenan adalah formulasinya akan doktrin tentang Trinitas dan tentang Pribadi dan natur-natur Kristus. Di atas fondasi inilah para theolog yang kemudian akan membangun pandangan-pandangan mereka tentang kovenan.

Namun, bukan saja semua topik theologi bisa dipikirkan secara kovenantal, tetapi berapa ajaran spesifik dari gereja-gereja Presbiterian dan Reformed memang dikembangkan dalam terang doktrin tentang kovenan. Kita bisa mengidentifikasi yang berikut: (1) persekutuan antara Tiga Pribadi dalam Trinitas Kudus; (2) hubungan Adam dengan Allah dalam keadaan ketidakbersalahan; (3) kekepalaan kovenan Adam atas umat manusia dan dosa asal; (4) kekepalaan kovenan Kristus atas umat manusia yang terpilih; (5) doktrin tentang kehidupan Kristen sebagai kehidupan persekutuan dan ucapan syukur; (6) tempat anak-anak dalam gereja termasuk baptisan anak, katekisasi, dan pendidikan Kristen; (7) kesatuan gereja dari permulaan sampai akhir dunia; dan (8) kesatuan dua Kitab Perjanjian dan pewahyuan yang progresif.7

Gereja mula-mula tidak secara eksplisit mengembangkan enam topik yang pertama dalam daftar di atas menurut terang kovenan. Tetapi gereja mula-mula secara jelas memahami kovenan sebagai sarana untuk menegaskan kesatuan gereja dan kesatuan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu doktrin ketujuh dan kedelapan dalam daftar di atas.

Pertama, mari kita pertimbangkan penggunaan gereja mula-mula atas kovenan sebagai dasar bagi kesatuan Alkitab. Irenaeus (yang berpengaruh kl. 175-195) menulis,

Tetapi kepala rumah tangga yang satu dan sama ini menghasilkan kedua kovenan, yaitu Firman Allah, Tuhan kita Yesus Kristus, yang berbicara dengan Abraham maupun Musa, dan yang memulihkan kita kepada kemerdekaan baru, dan telah melipatgandakan bagi kita anugerah yang berasal dari diri-Nya sendiri.8

Irenaeus menjelaskan bagaimana kovenan baru lebih besar daripada kovenan lama (IV:ix:2), sebelum membahas wahyu Allah yang progresif, yang dengannya umat milik Kristus “mengalami kemajuan melalui kepercayaan kepada-Nya, dan dengan sarana kovenan-kovenan [yang suksesif] … secara bertahap mencapai keselamatan yang sempurna” (IV:ix:3).

John Chrysostom (kl. 349–407) mengungkapkan kebenaran bahwa pencipta kovenan lama dan kovenan baru adalah sama dalam istilah-istilah Trinitarian yang lebih eksplisit”

Sebagaimana kovenan lama diberikan bukan oleh Bapa saja, tetapi juga oleh Anak, demikian juga kovenan anugerah keluar dari Bapa sekaligus Anak, dan setiap tindakan Mereka adalah sama: “Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya” (Yoh. 16:15).9

Kedua, gereja mula-mula juga menggunakan kovenan untuk menegaskan kesatuan gereja sepanjang masa. Justin Martyr (kl. 100-165), setelah mengutip Yeremia 31:31–32, teks klasik tentang kovenan baru, menulis,

Yesus Kristus … adalah hukum yang baru, dan kovenan yang baru itu, dan pengharapan dari orang-orang yang berasal dari segala bangsa yang menantikan hal-hal yang baik dari Allah. Karena Israel rohaniah yang sejati, dan keturunan Yehuda, Yakub, Ishak, dan Abraham (yang sebelum disunat sudah diperkenan dan diberkati oleh Allah karena iman-Nya dan disebut bapa dari banyak bangsa), adalah kita yang telah dipimpin kepada Allah melalui Kristus yang disalibkan ini.10

Penulis Epistle of Barnabas (kl. 100) yang tidak diketahui menuliskan secara tegas. “Tetapi marilah kita melihat apakah umat ini [gereja] yang merupakan adalah ahli waris, ataukah umat yang sebelumnya [orang-orang Yahudi], dan apakah kovenan ini adalah kepunyaan kita ataukah kepunyaan mereka.”11 Jawabannya jelas: orang-orang Yahudi dulu pernah menjadi umat Allah, tetapi karena mereka telah menolak Anak Allah maka sekarang kovenan ini adalah milik gereja. Justin Martyr menyatakan secara ringkas. Ia memberi tahu Trypho, seorang Yahudi, bahwa “Kitab Suci … bukan kepunyaan kalian, melainkan kepunyaan kami.”12

Sejauh ini kita telah melihat, pertama, bahwa karya gereja mula-mula mengenai Trinitas dan Pribadi Kristus adalah fondasional bagi perkembangan doktrin tentang kovenan dan, kedua, bahwa gereja mula-mula secara jelas menggunakan kovenan sebagai dasar bagi penegasan tentang kesatuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru maupun kesatuan gereja sepanjang masa. Sekarang kita akan melihat, ketiga, bahwa konsepsi gereja mula-mula tentang keselamatan bukannya tidak konsisten dengan persekutuan kovenan.

Para bapa gereja tidak mendefinisikan kovenan sebagai ikatan persahabatan antara Allah dan umat-Nya dalam Yesus Kristus. Namun, apakah mereka mendekati konsepsi tentang keselamatan sebagai persekutuan dengan Allah? Pada poin ini kita harus mengakui bahwa para bapa gereja tidak terlalu mendetail, dan mereka juga tidak selalu tepat, dalam pembahasan mereka tentang isi keselamatan.13 Sebagai contoh, mereka tidak sepenuhnya memahami banyak implikasi dari perihal keselamatan oleh anugerah saja, karena kebanyakan dari mereka mengajarkan bahwa manusia tetap memiliki kehendak bebas dalam pengertian tertentu dan mereka sering masuk ke dalam jalur-jalur moralistik. Hal ini tampak dari kutipan yang sebelumnya dari Justin Martyr bahwa “Yesus Kristus … adalah hukum yang baru, dan kovenan yang baru itu.”14 Namun mereka patut dipuji karena menyatakan bahwa keselamatan adalah niscaya, bahwa keselamatan adalah karya Allah melalui Kristus dan oleh Roh Kudus, dan bahwa keselamatan mencakup pengampunan atas dosa-dosa, kehidupan yang saleh, keanggotaan dalam gereja yang kudus dan am (universal), bagian dalam kebangkitan orang benar dan sukacita surga, tetapi keselamatan ini tidak mereka jabarkan sepenuh dan seakurat yang akan dilakukan dalam theologi Reformed di kemudian hari.

Akan tetapi, dalam beragam presentasi para bapa gereja mengenai keselamatan atau keterberkatan utama manusia atau kehidupan Kristen, mereka memang berbicara persekutuan dan hubungan yang hidup dengan Allah, dan kita juga melihat saran-saran tentang persahabatan dengan Allah Tritunggal sebagai kebaikan yang utama. Para bapa gereja secara keseluruhan, khususnya dalam tulisan-tulisan mereka yang bersifat apologetik, sering berbicara tentang Kristus sebagai yang memberikan pengenalan akan Allah yang sejati. Imortalitas, berbagian dalam kehidupan Allah yang tidak mengenal kematian, sering dibicarakan sebagai berkat utama dari keselamatan.15 Selain itu, kemurahan dan kasih ilahi sering dipresentasikan sebagai kebaikan utama manusia dalam kehidupan.

Clement dari Roma (berpengaruh kl. 90–100) merujuk kepada kovenan dalam lebih dari satu tempat dalam suratnya 1 Clement, tetapi hanya dalam kutipan-kutipan dari Alkitab dan tidak dikembangkan (xv, xxxv). Ia berbicara tentang kasih sebagai ikatan, namun tidak merujuk kepada kovenan dalam kaitannya dengan hal ini (xlix).16 Akan tetapi, ketika pertama kalinya menyebut tentang Abraham, ia segera menggambarkan Abraham sebagai “sahabat Allah” (x). Kemudian, ia kembali memberi Abraham gelar terhormat itu (xvii). Clement jelas menyukai ide tentang persahabatan dengan Allah. Ia tidak menyebutnya kovenan, dan ia juga tidak melanjutkan untuk mengembangkan ide tentang menjadi sahabat Allah, tetapi mendapati konsep ini menarik.

Dalam Epistle to Diognetus (kl.130) yang anonim, kita membaca bahwa

Allah … telah membentuk [manusia] seturut gambar-Nya sendiri, kepadanya Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal, kepadanya Ia telah menjanjikan sebuah kerajaan di surga, dan akan memberikannya kepada orang-orang yang mengasihi Dia. Dan ketika kamu telah memperoleh pengetahuan ini, menurutmu dengan sukacita seperti apakah kamu akan dipenuhi? Atau bagaimanakah kamu akan mengasihi Dia yang telah terlebih dahulu mengasihimu? Dan jika kamu mengasihi Dia, kamu akan menjadi peneladan kebaikan-Nya.17

Hidup yang mengasihi Allah dan bersukacita dalam Dia serta meneladani kebaikan-Nya jelas adalah sebuah hidup dalam persekutuan dengan Pencipta dan Penebus kita yang terberkati.

Robert Schnucker menunjukkan bahwa Origen (kl. 185–kl. 254) memberikan argumen dalam bukunya On Prayer bahwa “doa bukanlah permohonan, melainkan partisipasi dalam hidup milik Allah”18 Pastinya, “partisipasi dalam hidup milik Allah” melibatkan persekutuan dengan Allah yang hidup.

Dalam sebuah perikop di mana ia membandingkan kedua kovenan, Chrysostom menyatakan bahwa, “Di sana [dalam kovenan lama], itu adalah antara budak dan tuan, di sini [dalam kovenan baru], itu adalah antara sahabat dan sahabat.” Ia melanjutkan dengan membahas tentang berkat-berkat kovenan sebagai “hidup yang kekal,” “Roh Kudus,” “surga,” dan perihal “dilahirkan” sebagai “anak-anak Allah” sehingga “kita semua adalah satu dari sisi Kristus.”19 Ini merupakan kutipan yang sangat signifikan, karena di sini Chrysostom mengatakan bahwa kehidupan dalam kovenan baru adalah persahabatan dengan Allah dalam penikmatan akan semua berkat-berkat keselamatan. Namun bagaimanapun wawasan mengenai kovenan begitu jarang.

Sebagai ringkasan, para bapa gereja tidak melihat persahabatan kovenan sebagai puncak dari keselamatan kita dan dengan demikian tidak menempatkan beragam berkat kovenantal sebagai subordinat kepada ide tentang persahabatan. Namun, dengan sedikit penggalian, semua atau sebagian besar dari perspektif-perspektif mereka mengenai keselamatan bisa dikaitkan dengan persahabatan kovenan dengan Allah.

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.


Catatan akhir

1 Dalam artikel ini, istilah “gereja mula-mula” digunakan untuk merujuk kepada gereja pasca-rasuli sampai dan mencakup Konsili Chalcedon (451), dengan tidak menyertakan Augustine (354-430) yang akan kita bahas selanjutnya.
2 Bdk. Robert R. Williams, A Guide to the Teachings of the Early Church Fathers (Eerdmans, 1960); Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, vol. 1 (University of Chicago Press, 1971); J. N. D. Kelly, Early Christian Doctrines (HarperSanFrancisco, rev. 1978).
3 Bdk. Kredo Athanasian: “Barangsiapa akan diselamatkan: sebelum segala sesuatunya adalah niscaya bahwa orang itu memegang Iman yang Am: Iman yang jika tidak dipegang oleh setiap orang dengan seutuhnya dan tanpa tercemar: tidak ada keraguan bahwa orang itu akan binasa untuk selamanya. Dan Iman yang Am adalah ini: Bahwa kita menyembah Allah yang esa dalam Trinitas, dan Trinitas dalam Unitas … Selain itu adalah niscaya bagi keselamatan yang kekal: bahwa orang itu juga memercayai dengan setia inkarnasi Tuhan kita Yesus Kristus … Inilah Iman yang Am: yang jika tidak dipercayai seseorang dengan setia dan teguh, ia tidak mungkin diselamatkan” (1–3, 29, 44).
4 Kaum Arian, yang dinamai seturut Arius, seorang presbiter dari Alexander, mengajarkan bahwa Kristus bukan Allah tetapi diciptakan oleh kehendak Bapa.
Kaum Doketis mengajarkan bahwa Kristus hanya kelihatan sebagai manusia.
Kaum Apollinarian, yang dinamai seturut Apollinarius, Uskup Laodikia di Siria, mengajarkan bahwa walaupun Kristus memiliki sebuah tubuh dan sebuah jiwa, Anak yang kekal mengambil tempat dari roh-Nya.
Kaum Nestorian, yang dinamai seturut Nestorius, Uskup Constantinople, mengajarkan bahwa Kristus adalah dua pribadi.
Kaum Eutychian, yang dinamai seturut Eutyches, seorang presbiter dan kepala biara di Constantinople, mengajarkan bahwa Kristus memiliki hanya satu natur.
5 Bdk. Herman Bavinck, The Doctrine of God, trans. William Hendriksen (Banner, cetak ulang 1991).
6 Cf. Thomas C. Oden: “The very idea of person comes from early Christian theology” (The Living God [Prince Press, 1998], hlm. 218).
7 Bdk. Peter Y. De Jong, The Covenant Idea in New England Theology 1620-1847 (Eerdmans, 1945), hlm. 50.
8 Irenaeus, Against Heresies IV:ix:1, dalam The Ante-Nicene Fathers of the Christian Church, ed. Alexander Roberts dan James Donaldson, vol. 1 (Eerdmans, cetak ulang 1987), hlm. 472.
9 Chrysostom, Homilies on the Epistles of St. Paul the Apostle to the Galatians and Ephesians, dalam A Select Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, First Series, ed. Philip Schaff, vol. 13 (Eerdmans, cetak ulang 1983), hlm. 6.
10 Justin Martyr, Dialogue with Trypho xi, in The Ante-Nicene Fathers of the Christian Church, ed. Alexander Roberts dan James Donaldson, vol. 1 (Eerdmans, cetak ulang 1987), hlm. 200.
11 Epistle of Barnabus xiii, dalam The Ante-Nicene Fathers of the Christian Church, ed. Alexander Roberts dan James Donaldson, vol. 1 (Eerdmans, cetak ulang 1987), hlm. 145.
12 Justin Martyr, Dialogue with Trypho xxix, hlm. 209.
13 Bdk. J. N. D. Kelly: “Siswa yang mencoba untuk memahami soteriologi abad keempat dan awal abad kelima [dan, tentu saja, beberapa abad yang sebelumnya] akan sangat kecewa jika ia berharap untuk menemukan apa pun yang berkorespondensi dengan sintesis-sinstesis yang sudah dijabarkan secara kompleks seperti yang dipaparkan oleh theologi kontemporer mengenai Trinitas dan Inkarnasi” (Early Christian Doctrines [HarperSanFrancisco, rev. 1978], hlm. 375).
14 Justin Martyr, Dialogue with Trypho xi, hlm. 200; cetak miring oleh saya. Lihat juga Irenaeus, Against Heresies IV:xii:1-5, hlm. 475-476.
15 Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, vol. 1 (University of Chicago Press, 1971), hlm. 153-154.
16 David Engelsma menunjukkan bahwa para bapa gereja memiliki sebuah konsepsi tentang ikatan yang tidak terputuskan dalam pandangan mereka tentang pernikahan (Marriage: The Mystery of Christ and the Church [Reformed Free Publishing Association, rev. 1998], hlm. 181 dst.). Tetapi mereka tidak mempertimbangkan apakah kovenan merupakan sebuah ikatan yang tidak terputuskan.
17 Epistle to Diognetus x, dalam The Ante-Nicene Fathers of the Christian Church, ed. Alexander Roberts dan James Donaldson, vol. 1 (Eerdmans, cetak ulang 1987), hlm. 29.
18 Robert Schnucker, “Origen,” dalam The New International Dictionary of the Christian Church, ed. umum, J. D. Douglas (Zondervan, 1974), hlm. 733.
19 Chrysostom, Homilies on the Epistles of St. Paul the Apostle to the Philippians, Colossians, and Thessalonians, dalam A Select Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, First Series, ed. Philip Schaff, vol. 13 (Eerdmans, cetak ulang 1983), hlm. 287.
Show Buttons
Hide Buttons