Menu Close

Apakah Anugerah Dapat Ditolak? (1)

Prof. Herman Hanko

(1)

Dari seorang pembaca: “Jika dimungkinkan, saya berharap Anda dapat menolong saya menjawab sebuah keberatan Arminian terhadap doktrin Reformed tentang anugerah yang tidak dapat ditolak (irresistable grace). Di dalam perdebatan saya dengan seorang Arminian di dunia maya, ia mengklaim bahwa anugerah yang mempersiapkan (prevenient grace, sebuah doktrin Arminian) adalah alkitabiah, dan bahwa kita bisa melihatnya di dalam ayat-ayat seperti Yohanes 12:47: ‘Jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menjadi hakimnya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.’ Dengan ayat ini, ia menyimpulkan bahwa anugerah bukanlah tidak dapat ditolak, karena jika anugerah tidak dapat ditolak, maka seluruh dunia ini akan diselamatkan. Ia mengklaim bahwa ayat ini tidak memberi kesempatan kepada kaum Calvinis untuk mengatakan bahwa kata ‘dunia’ berarti ‘dunia yang terdiri dari kaum pilihan.’ Sebagai contoh, Yesus memasukkan orang-orang yang tidak percaya dan mereka yang dihukum di dalam kata ‘dunia.’ Orang Arminian ini juga mengklaim bahwa teks ini tidak mungkin berbicara tentang panggilan internal atau eksternal. Teks ini berkata bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan dunia. Bagaimana kita memahami ayat ini berdasarkan terang doktrin Reformed?”

Jawaban bagi pertanyaan mengenai Yohanes 12:47 ini menyangkut makna dari kata “dunia.” Terlihat jelas dari argumentasi di dalam pertanyaan di atas bahwa orang Arminian yang dimaksud oleh si penanya ingin menjadikan kata “dunia” ini bermakna setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang pernah hidup. Ini selalu menjadi pertanyaan kunci yang muncul di dalam kaitannya dengan pembelaan bagi kebenaran tentang anugerah Allah yang berdaulat melawan mereka yang menyangkalnya. Bahkan sejak akhir abad keenam belas dan awal abad ketujuh belas kaum Arminian sudah membela pandangan mereka tentang kehendak bebas dengan merujuk kepada kata “dunia.” Di dalam sejarah gereja, sudah tidak terhitung berapa kali pertanyaan ini dibahas dan orang-orang beriman Reformed telah menjelaskan kata ini sebagaimana seharusnya kata ini dijelaskan. Kita hanya bisa berharap agar orang Arminian yang masih memunculkan argumen-argumen ini mau mengerjakan PR mereka dan bukannya melompat langsung kepada kesimpulan yang tidak berdasar mengenai pertanyaan yang telah dijawab entah berapa banyak kali ini.

Ada banyak alasan mengapa kata “dunia” tidak mungkin berarti setiap orang yang pernah hidup. Dan benarlah seperti yang pernah dikatakan, “Kristus yang adalah untuk setiap orang adalah Kristus yang bukan untuk seorang pun.”

1. Jika kata “dunia” berarti setiap orang yang pernah hidup, maka Allah mengasihi setiap orang yang pernah hidup. Jika Allah mengasihi setiap orang yang pernah hidup, Kristus telah mati bagi setiap orang yang pernah hidup. Jika Kristus telah mati bagi setiap orang yang pernah hidup, maka kasih Allah tidak memiliki kuasa dan salib kehilangan kemuliaannya yang menebus. Karena hal ini berarti bahwa Allah mengasihi orang yang tidak diselamatkan dan Kristus telah mati bagi orang yang tidak diselamatkan. Maka kasih Allah adalah sia-sia dan salib Krisrtus tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan.

2. Jika kasih Allah dan salib Kristus tidak efektual, maka Allah tidak mahakuasa. Ia tidak dapat melakukan apa yang Ia ingin lakukan. Augustinus pada abad kelima sudah menekankan bahwa apa yang Allah kehendaki untuk lakukan, Ia akan lakukan. Gereja Katolik Roma menolak ajaran Augustinus ini dan mengadopsi pandangan Pelagius yang mengajarkan bahwa Allah mengasihi semua manusia dan Kristus telah mati untuk semua manusia. Apakah kaum Arminian masa kini menginginkan doktrin Pelagian yang sama seperti Gereja Katolik Roma? Biarlah mereka membaca sejarah gereja dan belajar bahwa doktrin mereka berasal dari Katolik Roma.

3. Jelas bahwa lawan debat dari si penanya bukan hanya percaya bahwa Allah mengasihi setiap orang, tetapi ia juga percaya bahwa setiap laki-laki, perempuan, anak-anak, dan bayi yang masih dalam gendongan menerima anugerah Allah. Ia berbicara tentang anugerah yang mempersiapkan. Anugerah yang mempersiapkan adalah anugerah yang diberikan kepada setiap orang sehingga ia dapat mengambil keputusannya sendiri apakah ia menginginkan keselamatan atau tidak. Tetapi ada sebagian orang yang menolak anugerah ini. Akan tetapi, mereka sebenarnya menolak suatu imajinasi, karena tidak semua orang mendapatkan anugerah, tidak pula anugerah yang mempersiapkan. Di bagian mana dari Alkitab kita bisa menemukan tentang anugerah yang mempersiapkan ini? Orang yang mengajarkan doktrin ini menghadapi pertanyaan berikut: Apakah anugerah dari Allah yang Mahakuasa begitu lemahnya sampai tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan? Kita diberi tahu di dalam Alkitab untuk bersandar pada anugerah Allah di dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah memberi tahu Paulus ketika ia bergumul dengan duri dalam dagingnya, “Cukuplah kasih karunia (anugerah)-Ku bagimu” (2Kor. 12:9). Anugerah yang dapat ditolak adalah anugerah yang tanpa kuasa. Di dalam semua kesukaran yang saya alami, saya sama sekali tidak membutuhkan anugerah yang tanpa kuasa.

4. Mengajarkan doktrin Arminian bahwa anugerah dapat ditolak berarti mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Ajaran bahwa manusia memiliki kehendak bebas adalah upaya yang keras hati dan sudah diperhitungkan untuk menyangkal kerusakan total (total depravity). Merujuk kepada Efesus 2:1 sudah cukup untuk membuktikan bahwa kerusakan total merupakan realitas. Masalahnya bukanlah bahwa Kitab Suci tidak mengajarkan tentang kerusakan total; masalahnya adalah bahwa manusia yang congkak ingin membantu dalam menyelamatkan dirinya sendiri. Ia terlalu angkuh untuk memikirkan dirinya sebagaimana adanya: seorang yang berdosa, yang mati di dalam pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa. Orang yang hanya rusak sebagian tidak membutuhkan salib Kristus. Paulus, di dalam Efesus 2:1-10, menekankan hal ini. Jika sebagian dari keselamatan adalah karya kita, kita bisa memegahkan apa yang kita lakukan dan semua kemuliaan tidak akan menjadi milik Allah.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya sedang mengajar di kelas katekisasi, ada seorang anak perempuan di kelas itu yang berasal dari Gereja Katolik Roma. Walaupun ia bersemangat untuk menerima kebenaran-kebenaran iman Reformed, ia tetap kesulitan untuk menerima kebenaran tentang kedaulatan Allah di dalam segenap ciptaan-Nya dan di dalam semua perbuatan manusia. Kami telah membahas ini berulang kali, dan saya sudah kehabisan semua argumen yang alkitabiah. Maka, akhirnya, saya melakukan upaya terakhir untuk meyakinkan dia dengan berkata, “Jika kamu harus memilih antara Allah yang berdaulat atau Allah yang menunggu kamu dan semua manusia, yang mana yang akan kamu pilih?” Ia menopang kepalanya dengan kedua tangannya dan duduk di kursinya untuk waktu yang bagi saya dan rekan-rekan sekelasnya terasa begitu lama. Ruang kelas menjadi benar-benar hening saat itu. Akhirnya ia mengangkat kepalanya dan dengan sinar wajah yang penuh sukacita sejati dan air mata mengalir di kedua pipinya, ia berkata, “Saya ingin Allah yang berdaulat!” Dan ia tidak pernah menyimpang sedikit pun dari keyakinan itu setelah lebih dari lima puluh tahun.

Pertanyaan itu bukanlah theologi yang abstrak. Saya tidak membutuhkan allah yang tidak berdaulat. Saya tidak membutuhkan allah yang harus menunggu saya sebelum ia bisa bertindak. Seandainya itu yang benar, akan sama saja jika saya menyembah Buddha. Saya adalah orang berdosa yang terhilang, tanpa harapan dan tidak mampu melakukan apa pun, tetapi membenci Allah, melawan-Nya di dalam pekerjaan-Nya, menghujat nama-Nya, atau dengan keras hati mengabaikan-Nya. Saya membutuhkan Allah yang mampu, dengan kuasa ilahi, menaklukkan saya dan mengalahkan semua penolakan saya dengan anugerah yang tidak dapat ditolak. Apakah itu menjadikan saya orang berdosa yang tidak berdaya dan menjijikkan yang tidak melakukan apa pun untuk keselamatannya? Ya, memang demikian. Tetapi adalah lebih baik untuk berseru, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” dan pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan (Luk. 18:13-14), daripada berdiri bersama orang Farisi dan dengan suara keras menyombongkan, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, karena aku sudah menerima Kristus dan dengan begitu menyelamatkan diri saya sendiri.” Sikap memegahkan diri seperti tu bukanlah jalan menuju salib dan sorga.

Saya akan membahas Yohanes 12:47 dan Ulangan 30:6 (yang juga dirujuk oleh si penanya) di dalam News berikutnya jika itu adalah kehendak Allah.


( 2)

Di dalam News edisi sebelumnya, saya mulai menjawab pertanyaan yang timbul dari perdebatan antara penanya dan seorang Arminian yang menyangkal bahwa anugerah Allah di dalam keselamatan bersifat tidak dapat ditolak. Anugerah, menurut orang ini, dapat ditolak; anugerah dapat ditolak dan memang sering kali ditolak. Orang Arminian tersebut merujuk kepada dua teks.

Teks pertama berbunyi, “Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ul. 30:6).

Teks kedua terdapat di dalam Yohanes 12:47: “Dan jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menjadi hakimnya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya”

Argumen dari orang Arminian itu dalam kaitannya dengan Yohanes 12:47 adalah: “Anugerah bukan tidak dapat ditolak, karena jika anugerah memang tidak dapat ditolak maka seluruh dunia akan diselamatkan…. Teks ini bagus [yaitu membuktikan maksudnya, demikian menurutnya] karena tidak memberi kesempatan kepada kaum Calvinis untuk mengatakan bahwa kata ‘dunia’ berarti ‘dunia yang terdiri dari kaum pilihan….’ Teks ini tidak mungkin berbicara tentang panggilan internal atau eksternal. Teks ini mengatakan bahwa Yesus datang menyelamatkan dunia.”

Pertama-tama saya akan membahas Ulangan 30:6. Saya agak kesulitan untuk memahami bagaimana teks ini bisa dianggap membantah kebenaran tentang anugerah yang tidak dapat ditolak. Bagi saya, teks ini justru mengajarkan persis sebaliknya. Jika Tuhan Allah yang berdaulat menyunat hati seseorang, dan memberikan sunat jasmaniah sebagai tanda dan meterai dari sunat hati tersebut, maka sunat adalah sebuah tanda dan meterai dari apa yang Allah lakukan, bukan apa yang kita lakukan. Jika Allah menyunat hati kita, kita diselamatkan.

Mungkin orang Arminian itu memaksudkan bahwa upacara sunat itu sendiri memberikan anugerah kepada setiap orang yang disunat, dan bahwa karena tidak semua orang yang disunat itu diselamatkan, maka mereka yang tidak diselamatkan tersebut sudah dengan berhasil menolak anugerah Allah.

Tetapi teks ini tidak mengatakan bahwa semua orang yang disunat secara jasmaniah menerima anugerah. Teks ini memang dengan tegas menyatakan bahwa realitas yang untuknya sunat merupakan tanda dan meterai, yaitu sunat hati, menghasilkan keselamatan. Poinnya adalah bahwa sunat itu sendiri tidak menyelamatkan; dan teks ini juga tidak mengatakan apa pun yang memaksudkan bahwa sunat jasmaniah berarti menerima anugerah. Sunat hanyalah tanda dan meterai. Anugerah yang dikaruniakan dan menyelamatkan tersebut, yang untuknya sunat hanyalah sebuah tanda, adalah tidak dapat ditolak. Ini adalah anugerah Allah, dan anugerah Allah selalu menyelamatkan.

Faktanya adalah bahwa upacara sunat, yang telah digantikan oleh baptisan di dalam kovenan baru (Kol. 2:11-13), dilakukan kepada semua anggota bangsa Israel yang berjenis kelamin laki-laki karena mereka semua adalah bagian dari gereja Perjanjian Lama. Sunat adalah tanda lahiriah dari karya anugerah batiniah. Sunat menyertai Injil yang diberitakan kepada bangsa Israel. Dan sebagaimana Injil didengarkan oleh semua orang, tanda yang mengiringi Injil tersebut dilakukan kepada semua orang. Tetapi sebagaimana pemberitaan Injil tidak memberikan anugerah kepada semua orang yang mendengarnya, demikian pula sunat tidak memberikan anugerah kepada semua orang yang disunat. Air baptisan pun tidak memberi anugerah kepada semua orang yang dibaptis.

Kita tidak boleh melupakan apa yang Paulus katakan di dalam Roma 9:6: “Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel.” Allah sendiri membuat perbedaan antara Israel sebagai bangsa dan Israel sejati milik Allah. Allah membuat distingsi tersebut dengan pemilihan (eleksi) dan reprobasi yang berdaulat. Dan dengan begitu, tulis Paulus, “Semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah” (Gal. 6:16). Israel milik Allah adalah kaum pilihan, bukan setiap orang di dalam bangsa itu. Paulus menjelaskan secara rinci apa yang ia maksudkan di dalam Roma 9:6 tersebut di dalam Galatia 3. Kaum Arminian berharap Roma 9 dan Galatia 3 tidak ada di dalam Alkitab.

Di dalam Yohanes 12:47, orang Arminian ini tampaknya menggantungkan argumennya pada kata “dunia,” seakan-akan dunia merujuk kepada semua manusia yang pernah hidup, yang sedang hidup sekarang, dan yang akan hidup di masa depan.

Saya merasa sedikit malu bahkan untuk sekadar membahas poin ini, karena ratusan theolog dan orang kudus yang alkitabiah, mulai dari Augustinus yang meninggal pada tahun 430 Masehi, telah membuktikan tanpa menyisakan keraguan sedikit pun bahwa kata “dunia” di dalam kaitannya dengan karya Kristus tidak pernah berarti setiap manusia yang pernah hidup atau akan hidup. Literaturnya begitu ekstensif sehingga buku-buku tentang itu saja sudah bisa memenuhi begitu banyak rak di perpustakaan mana pun. Mengapa kebenaran ini harus terus diulangi, dan sudah tidak terhitung berapa kali? Sudah jelas bahwa ketika orang ingin menjadikan kata “dunia” sebagai rujukan kepada semua manusia individual, bahkan malaikat Gabriel pun tidak dapat mengubah pikiran orang itu.

Jika saya tidak keliru, adalah Charles Haddon Spurgeon, seorang Baptis, yang mengatakan bahwa tidak pernah sekali pun di dalam seluruh Kitab Suci kata “dunia” berarti setiap manusia, setiap individu.

Saya teringat akan seorang theolog dari tradisi Presbiterian yang sedang menyampaikan kebenaran bahwa Kristus mati hanya bagi kaum pilihan. Ia kemudian duduk sementara orang-orang mempersiapkan pertanyaan. Seperti yang bisa diduga, seorang pemuda, yang baru lulus dari perguruan tinggi, berkata, “Tetapi, Doktor, bagaimana dengan Yohanes 3:16?” Sang theolog langsung bangkit dari kursinya dan dengan cepat menuju mimbar. Dengan suara yang jelas-jelas menunjukkan kegusarannya, ia berkata, “Setiap orang? Dunia ini, seperti kata teks tersebut, terdiri dari orang-orang yang percaya! Bacalah itu, anak muda. Orang-orang percayalah yang membentuk dunia!” Lalu ia meninggalkan mimbar dan kembali duduk.

Jika anugerah dapat ditolak, maka Kristus mati dengan sia-sia. Kematian Kristus di atas salib melunasi semua dosa yang dimiliki oleh orang-orang untuk siapa Ia telah mati. Pengorbanan Kristus yang sempurna mendapatkan keselamatan yang penuh bagi mereka untuk siapa Ia telah mati. Apakah ada orang yang berani mengatakan bahwa Kristus telah mati bagi seseorang yang pergi ke neraka? Bagi saya itu sangat mendekati penghujatan.

Kristus telah mati untuk dunia sejati yang terdiri dari kaum pilihan. Kaum pilihan inilah, menurut perikop-perikop seperti Efesus 2:20-22, yang merupakan bait Allah yang dibangun dengan Kristus sebagai Batu Penjurunya. Kaum reprobat adalah kerangka-kerangka sementara yang diperlukan hanya pada saat pendirian bangunan itu dan nantinya akan dilepaskan dan dihancurkan ketika bangunan itu sudah selesai.

Kaum pilihan adalah bulir jagungnya dan bukan akar, batang, bunga jantan, kelobot, atau tongkolnya. Semua bagian itu memang diperlukan agar jagung bisa bertumbuh dan menjadi matang, tetapi kemudian menjadi tidak berguna ketika jagungnya sudah dipetik dan dimakan.

Gereja adalah dunia sejati milik Allah yang ditebus di dalam Kristus. Gereja sudah pasti diselamatkan oleh anugerah Allah yang tidak dapat ditolak.

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.

Show Buttons
Hide Buttons