Rev. Angus Stewart
(1)
Rasul Paulus memberikan tiga alasan dalam I Korintus 7:25-34, mengapa ia lebih menyarankan untuk tetap lajang.Pertama, argumen dari dosa: terdapat tekanan dan permasalahan dalam pernikahan (25-28; Buletin XI:10). Kedua, argumen dari eskatologi atau zaman akhir: ”Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (29-31). Ketiga, argumen dari tujuan utama kita: ”bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (32-34).
Bagaimanapun, hal ini bukanlah lebih dipilih untuk tetap lajang jika engkau hangus secara seksual: ”Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu” (9). Ini merupakan sebuah perintah bagi mereka yang tidak memiliki ”karunia” untuk menahan diri untuk berseks (7), namun mereka harus menikah ”asal mereka adalah orang percaya” (39).
Dari tiga argumen yang diberikan di atas, argumen dari eskatologi adalah yang paling tidak terduga dan berlaku bagi kita. Tetapi sang rasul, yang mendalami eskatologi dan memahami kesatuan dari kebenaran Allah – yang berkaitan dengan seluruh doktrin alkitabiah – yang diinspirasikan di sini bahkan untuk menangani pernikahan dalam terang eskatologi.
Selanjutnya, kita mengetahui bahwa pernikahan merupaakn topik yang membutuhkan pemikiran, pemikiran yang tenang, termasuk mempertimbangkan hal itu dari berbagai sudut, karena pernikahan adalah dua orang yang menjadi satu daging, yang lebih baik atau lebih buruk, bagi kehidupan.
Ada dua frasa utama yang bersifat eskatologi dalam I Korintus 7:29-31 yakni ”waktu telah singkat!” (29) dan ”Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (31). Bersama dua frasa in akan realitas yang dicipta dari dua aspek yang berbeda: waktu (”waktu telah singkat”) dan ruang (dunia [kosmos] seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu).
”Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” merujuk pada transformasi ciptaan pada hari akhir. Serupa dengan hal itu, II Petrus 3 memberi tahu kita bahwa dunia akan dihanguskan dengan api, maka sorga dan dunia akan diperbarui. Menurut Roma 8:19-22, ciptaan akan dibebaskan dari beban kerusakan. Matius 19:28 merujuk pada ”penciptaan kembali” sorga dan bumi. ”waktu telah singat!” mengajarkan kita bahwa hal itu tidak akan lama sebelum segala hal ini terjadi.
Frasa, “Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu”, nyatanya menolong kita mendamaikan pernyataan alkitab yang berkontradiksi. Beberapa ayat mengatakan keajegan dari dunia: ”telah tegak dunia, tidak bergoyang” (Maz. 93:1; bdk. 96:10). Ayat lainnya memprediksi kehancuran dunia: sorga dan bumi akan “binasa” (Maz. 102:26) atau ”berlalu”, ”lenyap” dan ”hangus dalam nyala api” (2Pet. 3:10). I Korintus 7:31 menjelaskan bahwa hal ini adalah ”Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu”. Dunia itu sendiri tetap/ajeg; Allah mendekretkan dan berkehendak bahwa hal itu akan selama-lamanya dan bahwa manusia akan selalu tinggal di sana. Tetapi ” Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang” – segala keadaan eksternalnya – akan berlalu. Hal inilah yang akan ”binasa” (Maz. 102:26) dan ”hangus dalam nyala api” (2Pet. 3:10).
“Sebab dunia seperti yang kita kenal” akan berlalu termasuk segala prestasi manusia di atas planet ini: keberadaban; kota, kota kecil, dusun; bandara udara, pelabuhan, jalan; pabrik, perpustakaan, perumahan – dan segala sesuatu akan hal-hal itu! Karena ” bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap” (2Pet. 3:10).
Lukas 20:34-36 membedakan dunia/zaman ini dengan dunia/zaman yang akan datang. Dalam dunia/zaman tersebut terdapat pernikahan (keluarga dan anak-anak), kematian (sekarat, berumur, dan penyakit) dan tubuh yang tidak dibangkitakan (yang kita hidupi sekarang). Dalam dunia/zaman yang akan datang, tidak ada pernikahan (tidak ada keluarga atau anak-anak), tidak ada kematian (tidak sekarat, berumur atau berpenyakit) dan ada kemuliaan dari tubuh yang bangkit. Wahyu 21:4 menyatakan ide akan “tidak ada kematian lagi” dalam dunia mendatang: tidak akan ada “kesedihan”, ”tangisan” atau ”kesakitan”, karena ”segala hal yang ada di atasnya” akan hilang lenyap.
Teks kita (1Kor. 7:29-31) mengembangkan ide pernikahan akan berlalu, seperti ide yang didapat dalam I Korintus 7: ”Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri” (29). ”Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (31).
Dalam frasa, “waktu telah singkat!”, waktu bukanlah hanya pergantian momen hingga kembalinya Kristus, tetapi hal itu adalah waktu yang direncanakan, waktu yang ditunjuk bagi keselamatan dan pelayanan Allah dalam kehidupan ini. Kata ”singkat” secara hurufiah ”dipersingkat” atau disusutkan atau dipersempit. Tetapi apakah yang diartikan ”waktu telah singkat!”, ketika hampir 2,000 tahun telah lewat sejak kenaikan Kristus ke sorga?
Di sini kita seharusnya menunjuk kepada beberapa hal. Pertama, waktu adalah singkat dari perspektif Allah, karena bagi kekekalan, 1,000 tahun sama seperti satu hari (2Pet. 3:8). Kedua, waktu telah singkat dari perspektif zaman yang tiada berakhir dari kemuliaan kekal. Ketiga, karya kemegahan dari keilahian agung yang kemudian adalah kedatangan Kristus kedua dan pembaruan segala hal. Tidak ada tindakan yang bersifat menebus dan tidak ada zaman atau dispensasi yang akan datang antara waktu kini dan kembalinya Kristus. Keempat, tanda-tanda akhir dunia – termasuk peperangan, kelaparan, wabah penyakit dan gempa bumi (Mat. 24:6-7) – menunjukkan pada dan membayangi kebenaran yang besar akan ”dunia seperti yang kita kenal akan berlalu”. Kelima, waktu yang ”dipersingkat” dalam segala sesuatu yang terjadi dalam dunia, yang melayani cita-cita dan tujuan sedemikian di mana semua maksud Allah digenapi, maka Kristus kembali kepada mempelai, jemaat-Nya sesegera mungkin.
(2)
I Korintus 7:29-31 memperlihatkan bagaimana pentingnya pengertian kita akan eskatologi (atau doktrin akan hari akhir) adalah dalam pernikahan. Sebagaimana kesatuan jemaat bukan hanya membutuhkan ”satu iman” tetapi juga ”satu pengharapan” (Ef. 4:4, 5), sehingga pasangan Kristen harus berbagi ”satu pengharapan” dalam Kristus, seperti yang dikemukakan dalam Kitab Suci.
Jika pengharapan istri adalah hari pengangkatan jemaat (sehingga kaum percaya akan terhindari dari penyiksaan yang pelik) diikuti 7 tahun oleh pemerintahan 1,000 tahun dari Kristus di atas bumi, tetapi pengharapan suami adalah kembalinya Kristus yang badaniah untuk memperbarui sorga dan bumi, akan terdapat ketidaksatuan dalam pernikahan yang disebabkan mereka tidak memiliki pengharapan yang sama. Atau jika seorang suami mengharapkan untuk mengkristenkan semua negara di dunia sehingga kaum percaya dapat mendominasi dan pemerintah sipil mewajibkan dan menggunakan hukum-hukum alkitabiah, ketika istrinya menduga bahwa kesempurnaan dunia akan tiba ketika kemuliaan Kristus kembali, maka mereka terpisah oleh pengharapan mereka yang berbeda itu. Dalam pernikahan campuran, orang percaya menyaksikan dan menunggu kembalinya Kristus, sementara orang yang belum percaya [pasangannya] kenyataannya tidak memiliki ketertarikan semacam itu untuk dipikirkan. Inilah kenyataan ketidaksatuan rohaniah itu sendiri di antara mereka bahwa pasangan yang percaya hidup dengan pengharapan sementara pasangannya yang belum percaya ”tidak memiliki pengharapan” tersebut (Ef. 2:12).
Menurut Rekonstruksionalisme, kaum Post-milenial, “Sebab dunia seperti yang kita kenal akan berlalu (1Kor. 7:31) mengacu pada kehancuran Yerusalem tahun 70 M. Maka Ken Gentry mengacu pada kedatangan kedua Kristus sebagai keberadaan dalam masa datang yang ”masih jauh” (He Shall Have Dominion, hal. 331). Hal ini membuat persyaratan rasuli bagi kaum Korintus, Yunani (di abad pertama) dan bagi kita (di abad dua puluh satu) mengenai kelonggaran untuk memikirkan pernikahan (dan untuk menangis, bergembira, membeli dan menjual) dari pengertian yang sederhana ini (29-31). Mengenai pernikahan, Dipensasionalisme, kaum Post-milenial yang mempertahankan bahwa hal itu akan berlalu saat pengangkatan kaum percaya, di mana hal itu berlanjut bagi kaum yang tidak diangkat dalam masa penyiksaan besar, lalu pernikahan akan terjadi pada masa 1,000 tahun pemerintahan Kristus di atas bumi, sebelum hal ini akan berlalu lagi hingga akhir [pemerintahan] milenium tersebut. Bagaimanapun Amilenialis, kaum Reformed percaya bahwa pernikahan terjadi pada zaman/dunia sekarang ini, dan pernikahan ini akan berlalu dengan zaman/dunia, karena dalam zaman/dunia yang akan datang [sorga] tidak ada lagi pernikahan (Luk. 20:34-36). Dalam sorga dan dunia yang baru, realitas pada pernikahan kita harus menunjuk pada kesatuan antara Kristus dan mempelai-Nya yang kekal selamanya (bdk. Why. 19:7-9).
Kemudian dua orang Kristen yang memikirkan masak-masak untuk saling menikah harus sama-sama setuju akan [doktrin] eskatologi (dan juga pada doktrin iman yang lain) sebelum mereka menikah. Bagaimana masa depan pernikahan anda jikalau engkau bahkan tidak sepakat mengenai masa depan pernikahan? Mereka yang berpikir menjadi ”satu tubuh” (Kej. 2:24) harus memiliki ”satu pengharapan” (Ef. 4:4), yang merupakan bagian dari keberadaan ”sehati sepikir” (1Kor. 1:10). Lagi pula, mereka tidak harus sekadar memiliki ”satu pengharapan” secara objektif tetapi pengharapan ini seharusnya menjadi suatu pengharapan yang hidup, maka kedua pasangan itu merindukan kedatangan Kristus dan berdoa (secara individu dan bersama-sama), ”Amin, datanglah, Tuhan Yesus” (Wah. 22:20).
Pengertian radikal yang baru ini mengenai akhir dari mode kekinian eksistensi kita menyiratkan suatu panggilan mengenai pernikaham: ”orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri” (1Kor. 7:29). Hal ini tidaklah mengkesampingkan perintah Allah bahwa para suami mengasihi istri mereka, sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya (Ef. 5:25). Hal ini tidak berarti bahwa para suami tidak harus menyediakan bagi istri mereka atau mereka boleh menipu istri mereka secara seksual (1Kor. 7:3-5) atau hanya mencerai mereka (10-13). Tetapi hal itu berarti bahwa pernikahan bukanlah akhir dalam hal itu sendiri; hal itu adalah alat untuk melayani Allah. Pasangan dan anak-anak anda hanyalah titipan untuk anda, dan waktu anda bersama mereka relatif singkat.
Karena “waktu telah singkat!” (29), “orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis” (30). Di sini Tuhan tidak menuntut kita untuk membunuh afeksi anda yang saleh dan berperasaan murah hati atau tidak pernah menangis. Tentunya, ada ”waktu untuk menangis” (Pkh. 3:4) dan kita diperintahkan untuk ” menangislah dengan orang yang menangis” (Rm. 12:15). Tetapi ketika kita sedih karena ditinggalkan saudara kita, kita tidak sedih ”bagaikan orang yang tidak berpengharapan” (1Tes. 4:13); dan dalam segala tangisan kita, kita harus mengingat bahwa ”dunia seperti yang kita kenal [dengan segala kedukaannya] akan berlalu” (1Kor. 7:31). Segala sebab kesedihan kita akan ditanggalkan, entah di rumah atau di tempat kerja atau di dalam dunia, dan orang jahat yang menganiaya kita tidak akan tinggal dalam bumi yang baru (Maz. 104:30, 35). Semua penerapan ini juga untuk menangisi dalam pernikahan, yang disebabkan percekcokan dengan pasangan anda atau masalah-masalah dengan anak-anak anda atau kesakitan atau kematian dalam rumah tangga anda. Meningislah seakan-akan engkau tidak menangis! Janganlah menjadi tercampak sepenuhnya sehingga engkau tidak mampu berlaku wajar lagi. Berharaplah dalam Tuhan karena dengannya engkau memuji-Nya (Maz. 42:5, 11; 43:5)!
Karena “dunia seperti yang kita kenal akan berlalu” (1Kor. 7:31), kita harus ”[kita] yang bergembira seolah-olah tidak bergembira (30). Hal ini tidak berarti bahwa kegembiraan adalah suatu yang bersifat dosa atau memalukan atau bahwa kita tidak boleh bergembira dalam ciptaan Allah yang baik dan berketetapan. Tetapi kita seharusnya mengetahui bahwa kegembiraan kita dalam dunia ini singkat dan tidak pernah dapat memuaskan sepenuhnya, maka kita seharusnya mencari lebih lanjut sukacita yang lebih agung, sempurna, kekal dari sorga. Banyak dari penyebab sukacita kita akan berlalu: sukacita di tempat kerja atau sekolah, sukacita saat liburan atau bersama teman, dan bahkan sukacita pernikahan. Tetapi hal ini akan digantikan oleh sesuatu yang bahkan lebih baik dan lebih dalam.
Hubungilah kami, jika anda ingin kami untuk mengirimkanThe Family: Foundations are Shaking oleh Prof. Gritters (£1.50 termasuk P&P) dan/atau “Rearing Covenant Children for the End-Time” oleh Prof. Engelsma (Gratis).
(3)
Setelah membahas pernikahan dan kesedihan dan kegembiraan dalam dunia yang singkat ini (1Kor. 7:29-30, kita kini beralih untuk menggunakan harta milik kita yang tepat dan dunia itu sendiri (30-31).
Karena “waktu menjadi singkat! (29), “orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli (30). Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak memiliki benda-benda itu dengan sendirinya oleh pembelian dan hak hukum. Tetapi segala harta milik kita – pakaian, buku, mobil, rumah, dll, termasuk apa pun yang kita nilai tinggi – akan berlalu. Karena ”bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap” (2Pet. 3:10). Dalam segala belanja kita dan dengan segala sesuatu yang kita miliki, kita perlu untuk memperhitungkan akan hal ini. Mereka yang percaya bahwa ”orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli” tidak akan menjadi terlilit hutang atas kredit mereka atau mengumpulkan harta karun di atas bumi (Mat. 6:19-24) atau terikat dan khawatir mengenai apa yang mereka akan makan atau minum atau pakai (25-34).
Sebab “dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu”, kita harus ”mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya [tidak menyalah-gunakan barang-barang di dunia ini – KJV]” (1Kor. 7:31). Menyalahgunakan dunia ini termasuk menodainya dan mengeruknya dengan berdosanya secara egois dan serakah. Meskipun tidak ”menyalahgunakan” hal itu, kita sedang ”menggunakan” dunia ini. Demikian celaan dan kutukan dari kalangan Anabaptis (5:10). Kita harus menggunakan dunia untuk maksud yang Sang Mahatinggi telah memberikan hal itu, mengisinya dan menggunakannya dengan saleh atasnya (Kej. 1:26-28; 9:1-7), bagaikan para nabi, imam, dan raja yang memuliakan Yehova. Bahkan makan dan minum pada akhirnya adalah ”untuk memuliakan Allah (1Kor.10:31; Kej. 1:29-30; 9:2-3; 1Tim. 4:1-6). Dalam kehidupan ini, panggilan kita adalah untuk melayani Tuhan Yesus Kristus sebagai penatalayan-Nya, dalam kelajangan dan pernikahan dan dalam segala hubungan kita, dalam setiap sfer dan lembaga di mana Allah telah tempatkan kita. Untuk menggunakan dunia ini seperti tujuan itu sendiri – secara keduniawian! – merupakan “menyalahgunakan” hal tersebut. Bertentangan dengan hal ini, benda yang diciptakan itu sendiri dengan enggan memprotes: ”Allah menciptakanku untuk kemulian-Nya; engkau harus menggunakan aku untuk melayani Dia!” (bdk. Rm. 8:18-22). Penggunaan yang benar akan dunia ini dan segala sesuatu dalamnya dengan menggunakannya terutama untuk mencari Kerajaan Allah (Mat. 6:33); selain dari itu merupakan penyalahgunaan.
Perintah ini bahwa “waktu menjadi singkat!” dan bahwa ”dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” dan panggilannya mengenai pernikahan, kesediahan, kegembiraan, pembelian, dan menggunakan dunia ini (1Kor. 7:29-31) harus bercirikan dalam wawasan dunia Kristen. Kita harus menggunakan nas seperti ini untuk memikirkan secara alkitabiah mengenai waktu, sejarah dan eskatologi; menciptakan, ketetapan dan segala sesuatu di dalamnya; dan budaya orang percaya dalam rumah, di dalam pasar, di dalam tempat kerja dan di dalam negara.
Semangat orang Kristen dan kehidupan aktif di dalam ciptaan Allah mengalari dari pemilihan, regenerasi dan anugerah yang menguduskan dari Kristus dan dipimpin oleh Kitab Suci. Ketaatan kepada Firman dalam dunia yang najis, meskipun diberkati oleh Allah, tetap membawa penganiayaan dari si jahat.
Anak-anak Abraham yang sejati, baik dalam waktu-waktu Perjanjian Lama dan Baru adalah ”yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu” (Ibr. 11:9) akan kota dan negri sorgawi tersebut. Maka, bagaikan dia, kita ”menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (10) dan kita ”merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi” (16). Bagaikan bapak Abraham, kita ”diam [merantau – KJV]” dalam dunia ini (9) dan mengaku bahwa kita adalah ”orang asing dan pendatang di bumi ini” (13) dan ”bahwa mereka [kita] dengan rindu mencari suatu tanah air [sorgawi]” (14). Mereka yang tanpa pengharapan dan pengakuan ini bukanlah keturunan Abraham, karena Allah ”tidak malu disebut Allah mereka” (16).
Karenanya suatu wawasan dunia orang Kristen yang sejati tidaklah meniadakan kewarganagaraan kaum percaya sorgawi (Fil. 3:12). Tepatlah hal ini adalah orang yang ”mati”, yang ”hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah”, yang mencari ”perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” dan memikirkan ”perkara yang di atas [dan] bukan yang di bumi” (Kol. 3:1-3), di mana orang percaya digerakkan dan dimotivasi untuk hidup dalam setiap sfer kehidupan yang Sang Mahatinggi telah panggil dia dalam kesadarannya, dihiburkan dan dilayani oleh Tuhan Yesus Kristus. Kita harus melakukan seluruh kemuliaan Allah sekarang, ”selama ada waktu”, sebab ”akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4). ”Kesudahan segala sesuatu sudah dekat.Karena itu kuasailah dirimu” (1Pet. 4:7).
Berhubungan dengan “Kelajangan dan Pernikahan orang Kristen” (tema kita untuk I Korintus 7), pengajaran ini mengenai singkatnya waktu dan berlalunya dunia yang kita yang kita kenal ini memiliki setidaknya 2 aplikasi sedemikian. Pertama, hal itu akan penghiburan bagi mereka yang mengalami pernikahan yang buruk (termasuk mereka yang mengalami pernikahan campuran). Pasangan Kristen dapat bertumbuh dalam ketaatan dalam peranan yang diberikan Allah, dengan suami yang mengasihi istrinya seperti dirinya dan istrinya menghormati suaminya (Ef. 5:33). Melalui doa anda dan teladan saleh anda, prilaku pasangan anda boleh berkembang baik. Bersifat tunduk, layaknya prilaku istri – tanpa mengomel! – bahkan boleh jadi berguna untuk mengalihkan keyakinan suaminya yang belum percaya (1Pet. 3:1-6). Tetapi meskipun tidak ada perkembangan yang baik, anda harus melayani Tuhan dalam pernikahan anda, mengingat bahwa Kristus datang segera untuk memberi upah bagi umat-Nya (Why. 22:12). Kedua, I Korintus 7:29-31 merupakan suatu peringatan bagi mereka (baik menikah atau hendak menikah) yang memuja berhala pernikahan. Pernikahan adalah karunia Allah yang baik, suatu kesatuan berkat antara seorang pria dan wanita, dan gambaran Kristus dan jemaat-Nya. Tetapi bagi semua ini, ini adalah bersifat sementara dan akan didahului oleh konsumasi yang lebih besar dalam dunia mendatang.
Hubungilah kami, jika anda ingin kami untuk mengirimkan satu atau keduanya dari pamflet ini: “The Reformed Worldview on Behalf of a Godly Culture” oleh Prof. Engelsma dan “The Christian and Culture” oleh Rev. Hoeksema.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.