Prof. Herman Hanko
Tetapi Petrus menjawab: “Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.” (Kis. 10:14). tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. (Kis. 15:20).
Seorang pembaca menanyakan, “di dalam Kis. 10:14, Petrus tampaknya masih melaksanakan hukum/aturan mengenai makanan. Mengapa hal ini terjadi? Yesus telah mengatakan kepadanya bahwa hukum tertentu mengenai hal itu diakhiri. Hal ini membingungkan saya.Dapatkah anda (Prof. Hanko) menjelaskan hal ini? Apakah hal itu merupakan pilihan bagi kaum Kristen Yahudi? Lalu, di Kis. 15:20, darah dilarang untuk dimakan. Apakah hal ini berlaku di masa kini kepada semua kaum percaya yang bukan Yahudi?” Pada pertanyaan pertama, yang diambil dari Kis. 10:14, mengenai tanggapan Petrus yang diperintahkan dari sorga untuk memakan segala binatang dan burung yang tidak tahir (atau haram), yang disajikan di depan dia dalam pengelihatan dari sotoh rumah milik Simon, penyamak kulit. Tanpa diketahui olehnya, segera Simon dipanggil oleh para kurir dari Kornelius yang mengundang dia ke rumah dari proselit, orang bukan Yahudi ini supaya boleh diberitakan Injil kepada mereka. Petrus diberikan pengelihatan ini untuk mempersiapkan dia yang hendak pergi ke rumah Kornelius.
Petrus membutuhkan pengelihatan ini untuk mengunjungi rumah seorang yang bukan Yahudi, sebab makan bersama dia begitu dilarang dalam hukum Yahudi. Lebih lanjut, untuk memakan binatang-binatang, seperti yang diperlihatkan kepada Petrus di sotoh rumah Simon itu, lalu dia diperintahkan untuk memakannya, merupakan hal yang dilarang oleh hukum Yahudi (Im. 11).
Dua hal yang harus dipahami supaya mengerti perikop ini. Pertama, hukum-hukum sipil dan seremonial diberikan kepada Israel dalam Perjanjian Lama (PL) dimaksudkan untuk mempersiapkan bangsa tersebut terpisah dari segala bangsa di bumi, sebagai umat kovenan, umat pilihan Allah. Tetapi, berkat karya Kristus, termasuk pencurahkan Roh Kudus, keselamatan tidak lagi terbatas kepada bangsa Yahudi saja, tetapi juga menebus batasan bangsa Israel supaya dibawa kepada segala bangsa. Hal ini merupakan tujuan Allah dalam Kristus untuk menyelamatkan gereja-Nya yang am, jemaah pilihan dari setiap bangsa, suku, dan bahasa.
Kedua, gereja mula-mula Perjanjian Baru (PB) mengalami masa yang sulit untuk terlepas dari adat istiadat PL. Para rasul masih pergi ke bait suci untuk berdoa (Kis. 3:1), bahkan bait suci adalah bagian dari hukum PL. Masa tersebut dalam gereja mula-mula PB, banyak ditemukan kasus yang begitu berat untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan dari adat istiadat yang lama. Kis. 15:1-2 menandakan bahwa masalah tersebut begitu pentingnya sehingga dipanggilah suatu sinode khusus untuk menyelesaikan persoalan ini.
Petrus memiliki kesulitan yang sama dan dia diperintahkan dalam kebenaran di mana Allah juga menyelamatkan kaum yang bukan Yahudi dan membawa mereka ke dalam persekutuan gereja. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan bangsa Israel sebagai umat tidak lagi memberikan pengaruh lagi. Prinsip ini, dinyatakan kepada Petrus di Yope, memberikan pengaruh baik di seluruh dispensasi (masa perjanjian – terj.) yang baru.
Yesus tidak perlu menjelaskan hal-hal ini secara detail kepada murid-murid-Nya, karena mereka tidak akan mengerti hal-hal ini dalam beberapa kasus. Mereka bahkan tidak dapat memahami bahwa Kristus bukan datang untuk mendirikan suatu kerajaan di bumi, pada waktu kenaikkan-Nya ke sorga, mereka masih berharap dan bertanya kerajaan semacam ini (Kis. 1:6), bahkan Yesus secara terus terang mengajarkan murid-murid itu bahwa kerajaan-Nya ada di sorga (Luk. 17:20-21; Yoh. 3:3).
Namun, Kristus memang menjelaskan hal-hal ini kepada mereka, walaupun mereka tidak mengerti hingga pencerahan Allah Roh yang dicurahkan ke atas gereja-Nya. Kristus memberitahukan mereka bahwa Dia harus datang untuk menggenapi sesuai hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat. 5:17). Dia telah menjelaskan kepada mereka bahwa hukum-hukum mengenai makanan tidak lagi diisyaratkan di dalam dispensasi yang baru (Mark. 7:14-23). Dia telah mengatakan berulang kali bahwa panggilan-Nya dari Bapa-Nya adalah untuk menderita dan mati di tangan pemimpin-pemimpin Yahudi, dan bangkit lagi pada hari ketiga. Tetapi murid-muridnya kacau dan bingung ketika hal-hal ini benar-benar terjadi, karena mereka melihat kematian Yesus sebagai akhir dari mimpi-mimpi mereka. Bahkan kebangkitan tersebut merupakan suatu peristiwa di mana mereka tidak duga.
Pertanyaan kedua, mengenai keputusan dari sidang di Yerusalem, yang menasihatkan kaum yang bukan Yahudi untuk menghindari makanan yang ada darahnya merupakan realm/ranah dari kemerdekaan orang Kristen. Kemerdekaan orang Kristen juga termasuk dalam pertanyaan terakhir pembaca itu dalam hubungannya dengan Kis. 10:14: ” Apakah hal itu [yakni, binatang-binatang yang tidak tahir] merupakan pilihan bagi kaum Kristen Yahudi?”
Kita hanya dapat menangani persoalan kemerdekaan Kristen dengan sangat singkat dalam hubungan ini. Surat Paulus yang agung kepada kaum Galatia terkadang disebut ”Piagam dari Kemerdekaan orang Kristen”. (Lih. juga Roma 14 dan I Korintus 8; 10:19-33).
Gereja dalam dispensasi lama di bawah hukum, karena kaum Israel adalah anak-anak dan hukum tersebut adalah penuntun yang memimpin mereka kepada Kristus (Gal. 3:23-4:7). Tetapi Kristus menggenapi hukum tersebut sehingga segala ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam hukum PL tidak lagi mengikat gereja PB. Kebebasan kita dari hukum tersebut merupakan suatu karunia Kristus melalui Roh di dalam hati kita.
Orang kudus PB, yang berjalan dalam kemerdekaan injil adalah orang yang mampu untuk memutuskan dirinya kepada apa yang dia boleh lakukan dan apa yang tidak boleh dia lakukan, ketika berurusan dengan banyak perkara-perkara yang tidak disebutkan secara khusus di dalam Kitab Suci seperti masalah benar atau salah.
Bagaimanapun, kita harus ingat beberapa hal mengenai kemerdekaan orang Kristen. Pertama, orang pecaya membuat keputusannya atas perkara benar atau perkara salah bagi dia atas dasar prinsip-prinsip yang tinggal dari hukum moral Allah, dirangkum di dalam sepuluh hukum. Dia tidak memiliki ”kebebasan yang semaunya”. Kedua, dia tidak boleh menggunakan kemerdekaannya sebagai suatu yang memuaskan nafsu, yakni kesempatan untuk hidup di dalam dosa (Gal. 5:13). Ketiga, kemerdekaan kita tercakup oleh panggilan kita untuk tidak menyerang saudara kita. Jika perilaku kita adalah kejadian yang membawa dosa melawan nuraninya sendiri terhadap saudaranya, kita bersalah karena menjadi batu sandungan (1Kor. 8:11-13). Akhirnya, seseorang yang ada dalam kemerdekaan orang Kristen memutuskan bagi dirinya entah dia mungkin makan daging dari binatang-binatang yang disebut tidak tahir di dalam hukum PL (mis., daging babi) dan entah dia mungkin memakan iga daging sapi bermutu yang dimasak dengan cara yang langka. Prinsip-prinsip ini berlaku baik bagi orang Yahudi dan petobat orang bukan Yahudi, yang bersatu di dalam Kristus.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.